22 Juni 2009

Kimpul Cocok Untuk Penderita Diabetes

Alam kita menyediakan begitu banyak bahan makanan, terutama sumber karbohidrat selain beras. Sebut saja ganyong, garut, gembili, suweg, uwi, kimpul dan lainnya. Namun makanan tradisional tersebut masih sulit menggantikan beras, meskipun nilai gizinya tidak kalah dari beras.
Contohnya kimpul (Xanthosoma Sp) atau dalam istilah Inggris disebut blue taro. Sebagian masyarakat menyebutnya talas kimpul. Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Ibnu Wahid menjelaskan, kimpul cocok hidup di tanah yang tidak tergenang air.
Selain rasanya gurih dan lezat, tanaman berdaun lebar serupa dengan talas ini rendah karbohidrat dan rendah lemak. Dengan demikian rendah pula kandungan glukosanya sehingga cocok bagi penderita diabetes melitus. Berdasarkan penelitian, dengan kandungan gizi yang ada dalam kimpul cocok pula untuk penderita penyakit degeneratif lainnya seperti jantung, osteoporosis dan hipertensi.
Dalam setiap 100 gram kimpul mengandung karbohidrat sebesar 23,7 gr, lebih rendah dibanding beras (78,9 gr), terigu (77,3 gr) dan jagung kuning (63,6 gr). Keunggulan yang lain dari kimpul, mengandung kalsium lebih tinggi (47 mg) dibanding beras (10 mg), terigu (16 mg) dan jagung kuning (9 mg).
Dibanding beras, terigu dan jagung kuning, hanya kimpul yang mengandung vitamin C yaitu 4 mg dalam setiap 100 gramnya (sumber pustaka Widowati dan Suyanti, 2002). Harga kimpul lebih murah dibanding beras, singkong ataupun ubi jalar. Sehingga cocok pula untuk makanan pokok alternatif terutama bagi keluarga miskin.
Arini Kusumaningtyas (mahasiswi Fakultas Teknologi Pertanian UGM) menjelaskan, kimpul masih memiliki keunggulan dibanding talas. Menurutnya, jika dibuat menjadi keripik (ceriping), talas tidak bisa renyah seperti halnya kimpul. Talas juga menyerap minyak lebih banyak sehingga kurang ekonomis.
"Kimpul juga termasuk zero waste. Kulitnya bisa kami olah untuk dijadikan pupuk organik. Air cuciannya setelah diendapkan ternyata menghasilkan pati. Pati ini sedang kami uji untuk dibuat produk turunan yang baru seperti mie atau yang lainnya," ujar Arini.(Aks)

Kimpul Antarkan Mahasiswa Jadi Wirausahawan

Kimpul adalah bahan makanan tradisional dari jenis ubi-ubian. Ada juga yang menyebutnya talas kimpul. Pamornya masih kalah dibanding singkong, ubi jalar, apalagi kentang. Nilai ekonomisnya pun nyaris tak diperhitungkan. Tapi di tangan dua orang mahasiswa UGM, kimpul dapat diubah menjadi komoditas bisnis berskala besar dan mengantarkan mereka menjadi wirausahawan muda.
Harus ada take action. Demikian prinsip Arini Kusumaningtyas (mahasiswi Fakultas Teknologi Pertanian UGM angkatan 2005) dan Muhammad Tholabuddin (mahasiswa Jurusan Administrasi Negara Fisipol UGM) ketika memulai usahanya pada Januari 2009 silam. Sebab perhitungan di atas kertas sematang apapun tak akan berarti apa-apa tanpa tindakan.
Dengan modal patungan berdua, ditambah dengan dana pribadi dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM Ibnu Wahid FA, mereka kulakan kimpul dan belanja alat penggorengan. Sejumlah ibu rumah tangga dan pemuda-pemudi pengangguran di sekitar tempat produksi pun dikerahkan untuk berproduksi.
Hasilnya berupa keripik (ceriping) kimpul lalu dipasarkan secara sederhana, tidak langsung masuk super market. Dibantu beberapa teman dengan telaten mereka menjualnya setiap minggu pagi di kawasan Kampus UGM dan dijajakan ke sejumlah warung. Pameran di kampus pun dimanfaatkan untuk mengenalkan produk tersebut.
Pelan tapi pasti, omzet mereka berkembang. Dua bulan terakhir ini telah mencapai Rp 50 juta perbulan atau satu ton keripik kimpul matang. "Mulai bulan Juli produksinya akan kami tingkatkan menjadi tiga ton perbulan. Karena permintaan pasar terus naik," ujar Arini didampingi M Tholabuddin dan dosen pembimbing mereka, Ibnu Wahid di laboratorium manajemen sistem industri pertanian FTP UGM Kamis (11/6).
Bisa dibayangkan keuntungan yang mereka raih, dengan harga jual Rp 5.000 untuk tiap kemasan 100 gram. Sementara harga beli kimpul dari petani maupun pengepul sekitar Rp 1.000 perkilogram. Pembuatan keripik kimpul juga tidak terlalu sulit. "Dikupas lalu dicuci, dirajang tipis, dicuci lagi, digoreng, ditaburi bumbu dan dikemas," tandas Arini.
Untuk membangun image dan mendongkrak nilai ekonomisnya, mereka memberikan merk Blue Taro Chips dan nama produsen Karisma Food dalam kemasannya. Blue Taro dikategorikan sebagai makanan ringan organik sehingga konsumen tak perlu khawatir adanya kandungan pestisida kimia dalam makanan tersebut.
Tak kalah penting, mereka juga mengepakkan sayap pemasaran. Kini mereka telah mempunyai kantor cabang di Jakarta, Bandung, Medan, Solo dan Semarang dengan kantor pusat di Magelang. "Kebetulan rumah saya Magelang, jadi biar gampang mengurusnya. Lagi pula bahan bakunya banyak didapat dari sekitar Magelang, Wonosobo, Temanggung dan Semarang," jelas Tholabuddin.
Omzet Blue Taro diyakini bakal terus menanjak, Sebab kata Tholabuddin, Jakarta, Bandung dan Medan sudah memesan pengiriman masing-masing dua ton perbulan. Namun karena keterbatasan modal, permintaan tersebut belum bisa dipenuhi.
Jalan lempang menjadi wirausahawan muda terbuka di depan mata Tholabuddin dan Arini. Apalagi setelah bisnis kimpul mereka memenangi juara I Shell Livewire Business Start Up Award 2009 pada 4 Juni 2009 lalu di Jakarta yang diselenggarakan perusahaan oli terbesar dunia Shell. Hadiah berupa uang tunai Rp 20 juta dari Shell menjadi 'darah segar' untuk menggenjot usaha mereka.
Shell juga akan mendukung pemasaran dengan membiayai pembuatan iklan di berbagai media yang akan dibintangi aktris Oky Asokawati dan mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sandiaga S Uno. Kebetulan mereka berdua adalah juri pada saat lomba Shell Livewire Business Start Up Award 2009.
Bagi Tholabuddin, keberhasilan tersebut bukan tanpa pengorbanan. Ia harus meninggalkan pekerjaannya dari sebuah perusahaan asing terkemuka di Jakarta. "Saya harus memilih. Kalau usaha ini tidak saya garap serius bisa bubar. Yang paling berkesan bagi saya, kami bisa memperkerjakan pengangguran dan memuliakan produk pertanian yang selama ini tak bernilai. Kami juga berhasil membentuk Karisma English Course untuk mencerdaskan masyarakat di sekitar rumah produksi," kata Tholabuddin.
Dosen pembimbing sekaligus investor Taro Blue Chips, Ibnu Wahid mengungkapkan, pihaknya akan terus memacu mahasiswanya untuk tidak berhenti pada kajian keilmuan. Namun juga mengembangkannya menjadi tindakan yang bermanfaat bagi masyarakat. "Keripik kimpul ini adalah salah satu usaha yang berbasis akademik," tandas Ibnu.(Aksan Susanto)