25 Agustus 2009

Mogol Sekolah, Bento Punya Dua 'Showroom' Motor

SALAH besar kalau ada orang bilang bahwa kesuksesan adalah bakat dan hanya bisa digenggam oleh mereka yang berasal dari trah atau keturunan keluarga sukses pula. Siapapun bisa meraih sukses, asalkan punya semangat pantang menyerah dan tekun. Muhammad Khoiron (39) memegang prinsip tersebut. Hingga akhirnya dia dapat membuktikan itu semua.
Pria yang akrab dipanggil Bento ini bisa dibilang hidupnya sekarang sudah mapan. Punya usaha cover jok sepeda motor, dua showroom motor bekas, mobil untuk menunjang pekerjaan, kendaraan keluarga, rumah milik pribadi dan tabungan sebidang tanah. Padahal pria asli Mojokerto Jatim ini tak pernah sekolah tinggi-tinggi, bahkan mogol di tengah jalan.
"Pernah SMA tapi tidak sampai lulus. Lalu saya merantau ke Yogya tahun 1988," ujarnya ketika ditemui KR di salah satu showroom sepeda motor bekas miliknya, Bento Mulya Motor di Jalan Monjali Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta suatu siang.
Masuk Yogya tahun 1988, Bento yang saat itu baru berusia 18 tahun mengaku galau. Karena selain tak punya cukup uang dan hanya berpendidikan rendah, ia juga tidak memiliki modal ketrampilan. Tapi niatnya merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik tak boleh surut. Untuk bisa sekadar makan, ia bekerja di sebuah pemasangan cover jok di Jalan Godean Km.5 dengan upah Rp 5.000 per minggu.
Setelah dua tahun bekerja ikut orang, terpikir dalam benaknya untuk mandiri. Tahun 1990 Bento mendirikan usaha pemasangan cover jok sepeda motor di Jalan Kolombo Samirono. Karena belum mampu membayar tenaga kerja, semua pekerjaan dilakukannya sendirian. Inilah saat-saat terberat yang harus dilalui Bento. Sebab hasil usahanya hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Selama tujuh tahun dirinya menjalani masa prihatin tersebut. Namun bukan Bento namanya jika gampang patah asa. Tahun 1997 ia nyambi makelaran sepeda motor bekas. "Saya melihat peluang itu, ketika beberapa sepeda motor yang dibawa ke tempat saya untuk diperbaiki joknya ternyata akan dijual," terang pria kelahiran Mojokerto 21 Januari 1970 ini.
Di sela-sela pekerjaannya memperbaiki jok, ia keluar masuk showroom menawarkan sepeda motor bekas. Namun lagi-lagi jalan terjal yang harus dilalui Bento. Motor yang ditawarkannya lebih sering ditolak ketimbang diterima oleh showroom. Ia menyadari, sebagai orang baru dalam bisnis tersebut masih butuh waktu untuk menanamkan kepercayaan.
"Sering, dari lima motor yang saya tawarkan, tak ada satupun yang diterima. Kalau nggak laku hari ini ya saya tawarkan lagi besok. Besok juga nggak laku, ya ditawarkan besoknya lagi," ujarnya.
Pantang menyerah. Itu yang dilakukan Bento sehingga kesulitan demi kesulitan berhasil dilaluinya dengan mulus. Setelah pekerjaan sales freelance sepeda motor bekas hasilnya dirasa memadai, tahun 2002 ia melepas pekerjaannya memperbaiki jok dan sepenuhnya berkonsentrasi untuk distribusi motor-motor bekas ke showroom. Sedangkan usaha jok sepeda motor diserahkan kepada para pekerja.
Bento yang awalnya hanya menjadi perantara, lambat laun mampu membeli sepeda motor bekas dengan uangnya sendiri untuk dijual kembali ke showroom. Dari satu buah sepeda motor yang mampu ia beli, berkembang menjadi dua, tiga, empat dan seterusnya. Dengan modal relasi yang makin luas pula, akhirnya terkumpul keberanian Bento untuk mendirikan sendiri showroom tahun 2006 di Jalan Monjali.
"Selama bergaul dengan sesama makelar dan keluar masuk showroom, saya jadikan sarana untuk belajar. Bagaimana sistem administrasinya, marketing dan sebagainya. Karena sudah main dengan uang besar maka harus dengan konsep atau sistem yang tertata," jelas Bento.
Usahanya berkembang pesat. Pria yang menikahi perempuan asli Yogya, Reni Wulandari dan telah dikaruniai dua orang anak masing-masing berumur dua tahun dan dua bulan ini membuka lagi satu showroom motor bekas di Jalan Kolombo Samirono pada awal tahun 2009.
Kini saatnya Bento menikmati buah perjuangan panjang. Masing-masing showroom miliknya memajang sekitar 25 sepeda motor setiap hari. Hasil penjualannya pun lumayan, rata-rata 120 unit per bulan untuk kedua showroom-nya. "Jujur, selalu berinovasi dan jangan pernah menyerah," tandas Bento membagi resep kesuksesannya. (Aksan Susanto)

Nanang Syaifurozi Ditentang Orang Tua, Nekat Tapi Sukses

MODAL dan pengalaman, bagaikan hantu dalam dunia bisnis bagi pemula. Tanpa modal besar dan pengalaman yang memadai, seakan-akan tak bisa memulai langkah. Benarkah demikian ? Bagi Nanang Syaifurozi (30) dan Ane Yarina Christi (28), alasan tersebut pasti akan ditolak mentah-mentah. Sebab pasangan muda suami isteri tersebut mengawali usahanya hanya dari hobi dan modal Rp 20 ribu. Tapi kini omzetnya mencapai miliaran rupiah per bulan.
Nanang dan Ane tak pernah menyangka hobi mereka berdua semasa masih pacaran di bangku kuliah pada tahun 2000 menuntun jalan rezekinya. Awalnya mereka hanya menuruti kesukaan membuat pernak-pernik dari kertas, seperti bingkai (frame) foto. Hasilnya pun hanya untuk hiasan dinding kamar kos. Setelah itu iseng-iseng dijual ke temannya.
Karena laku, Nanang dan Ane pun tuman. Dengan modal Rp 20 ribu mereka membeli kertas, gunting, cutter dan lem untuk membuat frame foto lebih banyak lagi. Hasilnya dijajakan di bazar Minggu pagi di kawasan kampus UGM. "Saya jual Rp 7.000 perbuah. Laku satu saja rasanya senang banget," ujar Nanang ketika dijumpai KR di tempat usahanya 'Rumah Warna' di Jalan Pandega Asih Ringroad Utara Caturtunggal Depok Sleman suatu siang.
Dengan telaten, jualan di pinggir jalan tersebut mereka lakoni hingga lebih dari satu tahun. Sejalan dengan itu mereka terus berkreasi dengan membuat aneka produk kreatif. Tak hanya sebatas bingkai foto, mereka merambah pula berbagai pernak-pernik kebutuhan remaja putri. Di tengah jalan, rintangan kecil mulai muncul. Orang tua Nanang yang mengetahui sepak terjang anaknya tersebut rupanya tak bisa menerima.
"Orang tua menentang karena ingin saya berkonsentrasi kuliah. Beliau berharap saya bisa kerja kantoran setelah lulus. Dan tidak ingin nasib saya sama seperti orang tua saya yang kesehariannya hanya jualan warung kelontong. Tapi saya tetap jalan terus pada pilihan saya. Karena saya yakin bisnis ini berprospek bagus," kisah alumni D-3 Broadcasting UGM ini.
Kendati demikian Nanang bisa membuktikan keyakinannya dengan berhasil lulus pada tahun 2002. Setelah lulus, lagi-lagi Nanang melakukan sesuatu yang membuat orang tuanya kurang berkenan. Karena pada tahun 2002 itu juga Nanang nekat ingin menikahi Ane, adik kelasnya di kampus. Padahal mereka berdua belum memiliki pekerjaan mapan, bahkan masih dalam usia cukup muda 23 tahun.
"Prinsip saya, penghasilan kami berjualan pernak-pernik kreatif saat itu sudah cukup untuk makan sehari-hari. Karena tekad kami ingin menikah begitu kuat, akhirnya orang tua saya mengizinkan. Itupun nggak pakai ramai-ramai, asal sah di KUA. Bahkan teman-teman kos pun tidak ada yang tahu. Karena setelah menikah kami masih tetap kos sendiri-sendiri," ujar pria muda kelahiran Banjarnegara Jateng 18 September 1979 ini.
Setelah menikah Nanang merasakan pintu rezekinya kian terbuka. Perubahan besar terjadi ketika dia menggelar karyanya pada salah satu stand di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) tahun 2002. Usai FKY pesanan dari luar negeri membanjir. Awalnya dari Yunani yang memesan 10.000 pigura senilai Rp 43 juta. Lalu disusul dari Jepang, Spanyol, Perancis, Amerika Serikat dan Jerman.
Mulai saat itu ia merekrut karyawan meskipun hanya sebatas teman-temannya sendiri. Dalam mengembangkan produk, Nanang membidik pasar remaja putri. Saat itu produk yang sedang booming adalah frame dari kertas daur ulang. Namun ia tak mau latah. Justeru ia melihat belum banyaknya produk kreatif yang colourfull sesuai kesukaan cewek ABG.
Beranjak dari situ, tahun 2004 Nanang dan Ane mulai membuat produk yang dibuat dengan jahit-menjahit. Seperti dompet, tas, kantong handphone, bed cover dan sprei, namun tetap dengan konsep colourfull atau warna-warni. Kreativitas Nanang dan Ane pun diterima dengan baik oleh masyarakat. Karya demi karyanya terus mengalirkan rupiah.
"Awalnya memang tak mudah. Ketika saya butuh modal untuk mengembangkan usaha, masih dipandang sebelah mata oleh bank. Memang sulit mencari pinjaman ke bank bagi pebisnis pemula. Tapi sekarang setelah sukses, bank-bank berdatangan menawarkan pinjaman," tutur Nanang.
Kerja keras hampir tujuh tahun telah bisa dinikmati hasilnya saat ini. Untuk terus mengembangkan usahanya, Nanang dan Ane membuka sistem franchise. Kini setidaknya telah ada 10 cabang franchise 'Rumah Warna' yang tersebar di wilayah Jawa, Kalimantan dan Kalimantan. Dari kesepuluh franchise ditambah dengan dua cabang miliknya sendiri, 'Rumah Warna' mampu membukukan omzet tak kurang dari Rp 1 miliar per bulan.
Kesuksesan tersebut tak lantas membuat pasangan pengusaha muda ini lupa diri. Bagi Nanang dan Ane, prinsip give and take selalu menjadi pegangan hidup. Keuntungan hasil usaha selalu disisihkan untuk diberikan kepada mereka yang nasibnya kurang beruntung. "Selalu memberi dulu, baru menerima dalam hal apapun," tandas Nanang. (Aksan Susanto)

04 Agustus 2009

Bekatul pun Bisa Jadi Makanan Bergengsi

BEKATUL selama ini lebih banyak dimanfaatkan untuk makanan ayam atau unggas dan hewan ternak lainnya. Sehingga limbah dari penggilingan padi menjadi beras tersebut lebih dikenal sebagai makanan binatang. Tapi jangan menyepelekan bekatul. Karena kandungan gizi bekatul sebenarnya jauh melebihi beras. Dan ternyata juga bisa diolah menjadi makanan bergengsi sehingga baik pula untuk dikonsumsi manusia.
Seperti yang dilakukan sejumlah mahasiswa Fakultas Pertanian UGM. Mereka membuat aneka kue berbahan dasar bekatul, seperti brownies, tart, cookies dan muffin. Rasanya tetap lezat, tidak apek dan nyaris tak berasa bekatulnya. Dan yang pasti menjadi menu bergizi tinggi.
"Dengan memanfaatkan bekatul berarti pula mengurangi ketergantungan kita terhadap impor gandum. Karena sebagian kue, bahan pembuatannya sudah seratus persen dari bekatul. Sebagian lainnya masih menggunakan gandum dengan proporsi kurang dari 50 persen," kata Maula Paramita didampingi Uun Agung Prasetya, keduanya mahasiswa Fakultas Pertanian UGM.
Komposisi seratus persen bekatul, jelas Maula, digunakan untuk jenis kue-kue basah seperti brownies. Sedangkan untuk kue kering, misalnya cookies, masih menggunakan gandum sekitar 30 persen. Sebab pada kue kering, aroma bekatul lebih terasa sensitif dibanding pada kue basah.
Tak puas hanya sekadar bisa membuat kue unik dan bergizi dari bekatul, Maula dan Uun bertekad untuk memasyarakatkannya. Lebih dari itu, mereka ingin menggarapnya serius sebagai ladang wirausaha. Untuk mendongkrak pemasaran, mereka menggandeng bapak angkat yang telah terlebih dahulu mapan dalam bisnis roti.
Melalui seorang teman, akhirnya mereka bertemu dengan H Buchori AZ (40), pemilik usaha roti Aflah di Jalan Nyai Ahmad Dahlan Yogyakarta. Kue buatan para mahasiswa tersebut dipasarkan melalui outlet Aflah. Tak hanya urusan pemasaran, Buchori juga memfasilitasi tempat dan alat untuk memroduksi kue-kue tersebut.
"Saya juga bertekad, para mahasiswa ini sudah harus punya usaha sendiri sebelum mereka lulus. Saya sudah cukup senang melihat mereka kreatif. Oleh sebab itu saya juga terus memotivasi para mahasiswa ini untuk menjadi wirausahawan mandiri," papar Buchori.
Lantaran bekatul pula, Maula dan Uun serta dua teman lainnya dalam satu tim lolos seleksi Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) yang digelar di Unibraw Malang 21-25 Juli 2009. Mereka menjadi bagian dari 270 tim yang diberi kesempatan untuk mempresentasikan karyanya setelah bmenyisihkan 12.600 proposal lain.
Sejumlah sumber menyebutkan, bekatul mengandung banyak zat gizi. Antara lain
protein, mineral, lemak (Asam lemak esensial), Phytosterois, Polyphenols, Phospholipids, Beta-Sitosterol, Co-Enzyme Q10, Omega 3 Fatty Acids, Omega 6 Fatty Acids dan Oleic Acid. Selain itu juga mengandung Dietary Fibers (Serat pencernaan dengan kandungan hemiselulosa yang tinggi, Vitamin E kompleks/Antioksidan (Tocopherols, Tocotrienols dan Gamma-Oryzanol), Vitamin B kompleks (B1, B2, B3, B5, B6 dan Vitamin B15/Vital Antioksidan)
Dengan kandungan vitamin dan zat gizi itu bekatul bisa membantu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Seperti diabetes melitus, hipertensi, kolesterol, pengapuran darah, jantung, asma, encok, gairah sex menurun, pusing karena tekanan darah rendah, gangguan perncernaan, penuaan dini, kegemukan, haid tak teratur, kista. Serta bisa meningkatkan kesuburan pada pria dan wanita. (Aks)

Bermodal Silaturahmi, Omzet Buchori Capai Ratusan Juta

PETUAH bijak yang mengatakan pentingnya memelihara silaturahmi ternyata memang bukan sekadar untaian kata. Bahkan pertemanan dan silaturahmi sebenarnya adalah aset. Suatu ketika aset tersebut bisa menghasilkan uang besar. Itu yang telah dibuktikan H Buchori AZ (40). Keberhasilan usaha beromzet ratusan juta rupiah perbulan yang dinikmatinya sekarang, awalnya hanya bermodal jaringan pertemanan.
Uang Rp 3 juta bisa dibilang terlalu kecil untuk membangun sebuah usaha. Apalagi ia tinggal di daerah pinggiran yakni di Sorobayan Sanden Bantul. Namun karena sudah kepepet dapur harus ngebul, wong ndeso ini memanfaatkan uang Rp 3 juta tersebut untuk membuka usaha roti. Ketika itu tahun 2003.
Ia memulai dengan produksi 10 kotak roti perhari dan dijajakan di warung reyot yang ia sewa di dekat rumahnya di Sorobayan. Sejalan waktu, roti buatannya dikenal masyarakat hingga kemudian pesanan berdatangan. Naluri bisnisnya pun berkembang dan terpikir untuk memperluas pemasaran. Di sinilah kekuatan silaturahmi dan pertemanan itu dimanfaatkan oleh Buchori.
"Roti saya pasarkan ke teman-teman yang beberapa tahun sebelumnya pernah saya kenal. Ada yang di Purworejo, Muntilan, Klaten, Sleman dan Bantul kota. Sebagian di antara mereka adalah teman-teman yang saya kenal waktu masih aktif di LSM," ujar suami dari Hj Tin Khotimah yang dikaruniai dua orang anak ini.
Kerja keras Buchori mulai terasa hasilnya tahun 2006. Pesanan tiap hari mencapai 200 doz perhari. Selanjutnya terus berkembang hingga saat ini menjadi 500-600 doz perhari. Bahkan saat musim hajatan dan pesanan ramai mencapai 2.000 doz perhari. Dari modal Rp 3 juta itu kini ia bisa memiliki empat buah mobil, rumah bagus dan membiayai umroh untuk kedua orang tua dan dua anaknya, serta menghajikan isterinya.
Kesuksesan Buchori barangkali setimpal dengan perjuangan hidupnya yang gigih. Belajar mencari uang sudah dilakoninya sejak kelas 2 SMA dengan usaha sablon. Demikian pula ketika masih kuliah di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia nyopir taksi tahun 1990-1993. Pernah pula jualan koran. Maklum, dirinya berasal dari keluarga besar dengan kemampuan orang tua yang pas-pasan.
Satu hal yang patut diacungi jempol, kendati sibuk cari uang dan kuliah tapi Buchori selalu ada waktu untuk berorganisasi baik intra maupun ekstra kampus. Dari situlah jaringan pertemanannya bertambah luas. Namun entah apa sebabnya, mahasiswa angkatan 1988 ini meninggalkan kampus tahun 1995 sebelum skripsinya kelar dan tak pernah diselesaikannya sampai sekarang.
Setelah meninggalkan kampus, dia merantau ke Pemalang. Di kota tersebut ia mencoba peruntungan dengan membuka berbagai usaha makanan kecil, bahkan jualan ayam. Namun tampaknya nasib baik belum berpihak. Tak ada satupun usahanya yang berhasil. Meski demikian dia berhasil menyisihkan uang untuk ditabung. Merasa tidak nyaman lagi di Pemalang, mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini memutuskan bali ndeso ke Sanden Bantul tahun 2003.
Sesampainya di Bantul, Buchori melakukan sesuatu yang dianggap banyak orang barangkali konyol. Uang tabungan yang dimiliki, dipakainya untuk berangkat ibadah haji sendirian. Padahal saat itu ia masih pengangguran dan hanya uang itu kekayaan yang dipunyainya.
"Banyak yang bilang saya ini edan. Punya tabungan bukannya untuk buka usaha, tapi malah naik haji. Waktu saya punya keyakinan, kalau kita minta kepada Allah pasti dikasih. Apalagi mintanya dekat, di Baitullah," ujar pemilik usaha roti 'Aflah' ini.
Sepulang haji pada tahun 2003 itu pula, tabungannya masih tersisa Rp 3 juta yang kemudian dipakainya untuk modal usaha. Tak pernah sepeserpun ia meminjam uang di bank untuk modal usaha. Kini Buchori bahkan telah mampu membeli sebuah rumah di Jalan Nyai Ahmad Dahlan Kauman Yogyakarta.
Rumah tersebut dimanfaatkan untuk outlet Aflah dan memfasilitasi mahasiswa kreatif yang tertarik untuk berwirausaha. "Saya punya obsesi para mahasiswa ini mampu punya usaha sendiri sebelum mereka lulus," tandasnya. (Aksan Susanto)

06 Juli 2009

INDONESIA MENDAPAT BONUS DEMOGRAFI PADA 2020

Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedang 30 persen penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun) yang akan terjadi pada tahun 2020-2030. Demikian dikatakan Plh Deputi Bidang Pelatihan dan Pengembangan BKKBN, Ida Bagus Permana.
Permana mengemukakan hal itu dalam Lokakarya Wartawan dengan Jajaran Pejabat Badan Keluarga Berencanan Nasional (BKKBN) Pusat di Cimacan, Cianjur, Jabar, akhir pekan lalu, dengan menghadirkan nara sumber Plh Sestama BKKBN Alimah Susilo, Plh Deputi Bidang KS dan PK BKKBN Hardiyanto, Guru Besar FKM-UI Prof Dr Ascobat Gani dan Pakar Komunikasi Eduard Depari.
Bonus demografi adalah suatu fenomena dimana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan karena jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sedang proporsi usia muda sudah semakin kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak.
Menurut Permana yang Kapuslitbang KB dan KR BBKN itu, bonus demografi dapat menjadi anugerah bagi bangsa Indonesia, dengan syarat pemerintah harus menyiapkan generasi muda yang berkualitas tinggi SDM-nya melalui pendidikan, kesehatan, penyediaan lapangan kerja dan investasi.
Dengan demikian, pada tahun 2020-2030, Indonesia akan memiliki sekitar 180 juta orang berusia produktif, sedang usia tidak produktif sekitara 60 juta jiwa, atau 10 orang usia produktif hanya menanggung 3-4 orang usia tidak produktif, sehingga akan terjadi peningkatan tabungan masyarakat dan tabungan nasional.
Namun, jika bangsa Indonesia tidak mampu menyiapkan akan terjadinya bonus demografi, seperti penyediaan lapangan kerja dan peningkatan kualitas SDM seperti pendidikan yang tinggi dan pelayanan kesehatan dan gizi yang memadai, maka akanb terjadi permasalahan, yaitu teradinya pengangguran yang besar dan akan menjadi beban negara.
Sementara itu, Prof Ascobat Gani mengharapkan, Presiden Indonesia terpilih 2009 menghidupkan kembali Kementrian Kependudukan sebagaimana diatur dalam UU No 39/2008 tentang Kementrian Negara bahwa masalah kependudukan diatur dalam kementrian.
"Adanya Kementerian Kependudukan, maka masalah kependudukan termasuk program KB mendapat prioritas dalam sidang kabinet dan dapat dikoordinasikan dalam pelaksanaan program kependudukan an peningkatkan kualitas penduduk seperti menyambut adanya bonus demografi," katanya.
Ascobat menyatakan optimis, adanya kementerain kependudukan, maka upaya revitalisasi program KB, pencapaian sasaran tujuan pembangunan milenium (MDGs) 2015 serta bonus demografi 2020 akan terwujud, antara lain tercapai program penurunan pertumbuhan penduduk dari 1,3 persen per tahun saat ini menjadi 1,0 persen serta angka pertumbuhan wanita (TFR - Total Fertility Rate) dari 2,6 anak (sejak 2002-2007) menjadi 1,5 anak.
Sedangkan, Eduard Depari mengharapkan, media yang meliput kegiatan KB dengan sikap dan tulisan yang kritis konstruktif, media yang mampu menggugah pemerintah untuk melihat masalah kependudukan sebagai masalah serius dan potensial yang dapat menghambat pembangunan bisa diabaikan. (www.bkkbn.go.id)

22 Juni 2009

Kimpul Cocok Untuk Penderita Diabetes

Alam kita menyediakan begitu banyak bahan makanan, terutama sumber karbohidrat selain beras. Sebut saja ganyong, garut, gembili, suweg, uwi, kimpul dan lainnya. Namun makanan tradisional tersebut masih sulit menggantikan beras, meskipun nilai gizinya tidak kalah dari beras.
Contohnya kimpul (Xanthosoma Sp) atau dalam istilah Inggris disebut blue taro. Sebagian masyarakat menyebutnya talas kimpul. Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Ibnu Wahid menjelaskan, kimpul cocok hidup di tanah yang tidak tergenang air.
Selain rasanya gurih dan lezat, tanaman berdaun lebar serupa dengan talas ini rendah karbohidrat dan rendah lemak. Dengan demikian rendah pula kandungan glukosanya sehingga cocok bagi penderita diabetes melitus. Berdasarkan penelitian, dengan kandungan gizi yang ada dalam kimpul cocok pula untuk penderita penyakit degeneratif lainnya seperti jantung, osteoporosis dan hipertensi.
Dalam setiap 100 gram kimpul mengandung karbohidrat sebesar 23,7 gr, lebih rendah dibanding beras (78,9 gr), terigu (77,3 gr) dan jagung kuning (63,6 gr). Keunggulan yang lain dari kimpul, mengandung kalsium lebih tinggi (47 mg) dibanding beras (10 mg), terigu (16 mg) dan jagung kuning (9 mg).
Dibanding beras, terigu dan jagung kuning, hanya kimpul yang mengandung vitamin C yaitu 4 mg dalam setiap 100 gramnya (sumber pustaka Widowati dan Suyanti, 2002). Harga kimpul lebih murah dibanding beras, singkong ataupun ubi jalar. Sehingga cocok pula untuk makanan pokok alternatif terutama bagi keluarga miskin.
Arini Kusumaningtyas (mahasiswi Fakultas Teknologi Pertanian UGM) menjelaskan, kimpul masih memiliki keunggulan dibanding talas. Menurutnya, jika dibuat menjadi keripik (ceriping), talas tidak bisa renyah seperti halnya kimpul. Talas juga menyerap minyak lebih banyak sehingga kurang ekonomis.
"Kimpul juga termasuk zero waste. Kulitnya bisa kami olah untuk dijadikan pupuk organik. Air cuciannya setelah diendapkan ternyata menghasilkan pati. Pati ini sedang kami uji untuk dibuat produk turunan yang baru seperti mie atau yang lainnya," ujar Arini.(Aks)

Kimpul Antarkan Mahasiswa Jadi Wirausahawan

Kimpul adalah bahan makanan tradisional dari jenis ubi-ubian. Ada juga yang menyebutnya talas kimpul. Pamornya masih kalah dibanding singkong, ubi jalar, apalagi kentang. Nilai ekonomisnya pun nyaris tak diperhitungkan. Tapi di tangan dua orang mahasiswa UGM, kimpul dapat diubah menjadi komoditas bisnis berskala besar dan mengantarkan mereka menjadi wirausahawan muda.
Harus ada take action. Demikian prinsip Arini Kusumaningtyas (mahasiswi Fakultas Teknologi Pertanian UGM angkatan 2005) dan Muhammad Tholabuddin (mahasiswa Jurusan Administrasi Negara Fisipol UGM) ketika memulai usahanya pada Januari 2009 silam. Sebab perhitungan di atas kertas sematang apapun tak akan berarti apa-apa tanpa tindakan.
Dengan modal patungan berdua, ditambah dengan dana pribadi dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM Ibnu Wahid FA, mereka kulakan kimpul dan belanja alat penggorengan. Sejumlah ibu rumah tangga dan pemuda-pemudi pengangguran di sekitar tempat produksi pun dikerahkan untuk berproduksi.
Hasilnya berupa keripik (ceriping) kimpul lalu dipasarkan secara sederhana, tidak langsung masuk super market. Dibantu beberapa teman dengan telaten mereka menjualnya setiap minggu pagi di kawasan Kampus UGM dan dijajakan ke sejumlah warung. Pameran di kampus pun dimanfaatkan untuk mengenalkan produk tersebut.
Pelan tapi pasti, omzet mereka berkembang. Dua bulan terakhir ini telah mencapai Rp 50 juta perbulan atau satu ton keripik kimpul matang. "Mulai bulan Juli produksinya akan kami tingkatkan menjadi tiga ton perbulan. Karena permintaan pasar terus naik," ujar Arini didampingi M Tholabuddin dan dosen pembimbing mereka, Ibnu Wahid di laboratorium manajemen sistem industri pertanian FTP UGM Kamis (11/6).
Bisa dibayangkan keuntungan yang mereka raih, dengan harga jual Rp 5.000 untuk tiap kemasan 100 gram. Sementara harga beli kimpul dari petani maupun pengepul sekitar Rp 1.000 perkilogram. Pembuatan keripik kimpul juga tidak terlalu sulit. "Dikupas lalu dicuci, dirajang tipis, dicuci lagi, digoreng, ditaburi bumbu dan dikemas," tandas Arini.
Untuk membangun image dan mendongkrak nilai ekonomisnya, mereka memberikan merk Blue Taro Chips dan nama produsen Karisma Food dalam kemasannya. Blue Taro dikategorikan sebagai makanan ringan organik sehingga konsumen tak perlu khawatir adanya kandungan pestisida kimia dalam makanan tersebut.
Tak kalah penting, mereka juga mengepakkan sayap pemasaran. Kini mereka telah mempunyai kantor cabang di Jakarta, Bandung, Medan, Solo dan Semarang dengan kantor pusat di Magelang. "Kebetulan rumah saya Magelang, jadi biar gampang mengurusnya. Lagi pula bahan bakunya banyak didapat dari sekitar Magelang, Wonosobo, Temanggung dan Semarang," jelas Tholabuddin.
Omzet Blue Taro diyakini bakal terus menanjak, Sebab kata Tholabuddin, Jakarta, Bandung dan Medan sudah memesan pengiriman masing-masing dua ton perbulan. Namun karena keterbatasan modal, permintaan tersebut belum bisa dipenuhi.
Jalan lempang menjadi wirausahawan muda terbuka di depan mata Tholabuddin dan Arini. Apalagi setelah bisnis kimpul mereka memenangi juara I Shell Livewire Business Start Up Award 2009 pada 4 Juni 2009 lalu di Jakarta yang diselenggarakan perusahaan oli terbesar dunia Shell. Hadiah berupa uang tunai Rp 20 juta dari Shell menjadi 'darah segar' untuk menggenjot usaha mereka.
Shell juga akan mendukung pemasaran dengan membiayai pembuatan iklan di berbagai media yang akan dibintangi aktris Oky Asokawati dan mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sandiaga S Uno. Kebetulan mereka berdua adalah juri pada saat lomba Shell Livewire Business Start Up Award 2009.
Bagi Tholabuddin, keberhasilan tersebut bukan tanpa pengorbanan. Ia harus meninggalkan pekerjaannya dari sebuah perusahaan asing terkemuka di Jakarta. "Saya harus memilih. Kalau usaha ini tidak saya garap serius bisa bubar. Yang paling berkesan bagi saya, kami bisa memperkerjakan pengangguran dan memuliakan produk pertanian yang selama ini tak bernilai. Kami juga berhasil membentuk Karisma English Course untuk mencerdaskan masyarakat di sekitar rumah produksi," kata Tholabuddin.
Dosen pembimbing sekaligus investor Taro Blue Chips, Ibnu Wahid mengungkapkan, pihaknya akan terus memacu mahasiswanya untuk tidak berhenti pada kajian keilmuan. Namun juga mengembangkannya menjadi tindakan yang bermanfaat bagi masyarakat. "Keripik kimpul ini adalah salah satu usaha yang berbasis akademik," tandas Ibnu.(Aksan Susanto)

12 Mei 2009

Kurangi Ketergantungan Gandum, Buah Labu Bisa Dibuat Sereal

BUAH labu yang biasanya hanya untuk dibuat kolak atau sayur, ternyata bisa diangkat menjadi komoditas yang lebih bergengsi. Sejumlah mahasiswa Fakultas Pertanian UGM berhasil mengolah labu kuning menjadi sereal, makanan bayi dan anak balita yang bernilai gizi tinggi.
Selama ini sereal yang beredar di pasaran dibuat dengan mengandalkan gandum dan bahan-bahan impor. Akibatnya, harga sereal menjadi mahal. Hal itu berimbas pada masyarakat kelas bawah yang kian sulit menjangkau kebutuhan gizi untuk bayi dan balita.
"Makanan bergizi tidak harus mahal. Labu kuning atau yang biasa disebut buah waluh mengandung beta karoten, protein, karbohidrat, kalsium, fosfor, besi, serta vitamin B dan C. Tak kalah dari bahan-bahan impor," ungkap Maulana Raharjo, Ketua Tim Mahasiswa Fakultas Pertanian UGM yang menemukan sereal dari buah labu kuning.
Lantaran inovasi tersebut, tim yang diberi nama Pumjapva ini berhasil menyabet juara I Lomba Agroindustri Bussines Plan 2008 tingkat nasional yang digelar di Institut Pertanian Bogor 11 Desember 2008 lalu. Lebih membanggakan lagi, anggota tim ini seluruhnya mahasiswa angkatan 2008 yaitu Maulana Raharjo, Aris Mishbah, Dyah Ayu Safitri dan Gita Triantika di bawah bimbingan Pusat Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (P2KM) Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian UGM.
Dijelaskan, proses pembuatan sereal dari labu kuning atau dalam bahasa Inggris disebut pumpkin ini sangat sederhana. Awalnya memilih labu yang mengkal, kemudian dicuci, dipotong-potong kecil, dijemur atau dikeringkan dan terakhir digiling atau ditumbuk hingga menjadi tepung.
"Mahalnya harga makanan bayi menjadi salah satu alasan mengapa orang tua dari golongan menengah ke bawah tidak mampu memenuhi standar gizi balitanya. Padahal sebenarnya makanan yang bergizi tidak harus mahal dan bisa dihasilkan dari produk lokal yang banyak dijumpai di Indonesia. Salah satunya adalah labu kuning ini," tambah Aris.
Berdasarkan uji kelayakan pasar, sereal pumpkin kemasan 75 gram untuk bayi bisa dijual seharga Rp 1.250 dan sereal untuk balita dengan ukuran yang sama bisa dijual seharga Rp 1.750. Selain murah, sereal pumpkin juga memiliki cita rasa yang enak, tak kalah dari bahan-bahan impor. Dengan beberapa kelebihan dan keunikannya, sereal pumpkin siap menjadi andalan dan bersaing dengan pasar sereal lainnya.
"Sereal dari labu kuning atau pumpkin merupakan inovasi baru di bidang makanan bayi dan balita yang siap bersaing. Dari sisi bisnis, ini merupakan peluang besar karena persediaannya banyak serta harga terjangkau. Selain itu pesaing yang ada selama ini adalah sereal dari gandum yang tidak semuanya dapat dibeli oleh masyarakat lapisan bawah," tandas Dyah. (Aks)


Kandungan gizi labu kuning per 100 g secara lengkap dapat dilihat pada tabel berikut :
Kandungan Gizi Kadar/Satuan
1. Kalori 29,00 kal
2. Protein 1,10 g
3. Lemak 0,30 g
4. Hidrat arang 6,60 g
5. Kalsium 45,00 g
6. Fosfor 64,00 g
7. Zat besi 1,40 mg
8. Vitamin A 180,00 Sl
9. Vitamin B1 0,08 mg
10. Vitamin C 52,00 g
11. Air 91,20 g
12. BDD 77,00 %

Kecipir, Sumber Protein Pengganti Kedelai

JANGAN menyepelekan kecipir. Buah yang dihasilkan dari tanaman pagar yang menjalar mirip tanaman koro itu memiliki kandungan dan nilai gizi tak kalah dari kedelai maupun kacang tanah. Bahkan karena bijinya mirip dengan kedelai, maka biji kecipir tua pun bisa dibuat menjadi tempe, tahu, kecap dan susu, seperti halnya kedelai.
Demikian penelitian dan percobaan yang dilakukan sejumlah mahasiswa Fakultas Pertanian UGM. Salah seorang anggota tim, Nurul Syfa menjelaskan, asam amino yang terkansung dalam biji kecipir tua hampir sama dengan kedelai, sumber protein nabati paling baik. Biji kecipir kaya akan asam amino lisin, mencapai 413-600 mg per 100 g N, sedangkan pada kedelai hanya 399 mg per 100 g N.
Asam amino lisin yang terkandung dalam biji kecipir berperan penting dalam proses pertumbuhan sehingga dapat menutupi kekurangan lisin pada bahan pangan pokok, seperti beras, jagung, dan umbi-umbian. Karena itu, biji kecipir sangat baik sebagai lauk berbagai hidangan.
Diungkapkan, pada dasarnya semua biji-bijian dapat diolah menjadi susu, termasuk kecipir. Umumnya kacang-kacangan mengandung senyawa yang menghambat bekerjanya enzyme trypsin dalam menguraikan protein menjadi asam amino dalam proses pencernaan. Senyawa penghambat tersebut akan melemah dan menghilang setelah melalui proses pemanasan.
"Dikarenakan pengolahan biji kecipir yang kami kembangkan berupa susu, saat ini selain biji kecipir itu sendiri, kami menggunakan bahan-bahan tambahan seperti jagung, wijen, kapur sirih, garam, gula dan essense untuk menambah cita rasa dengan komposisi yang telah diatur. Penambahan bahan-bahan ini dimaksudkan untuk menjaga kualitas dari susu itu sendiri baik dari segi rasa maupun aroma," papar Syfa.
Proses pembuatannya, lanjut Syfa relatif sama dengan pembuatan susu kedelai. Diawali dengan pengupasan kulit biji. Sebab keikutsertaan kulit dalam proses akan mengurangi kualitas susu. Selanjutnya biji dicuci, dengan maksud menghilangkan kotoran-kotoran yang ikut pada biji. Lalu biji direndam untuk melunakkan biji dan menghemat waktu perebusan.
Langkah selanjutnya biji direbus, selain untuk melunakkan biji agar mudah dihancurkan (diblender) juga dapat menghilangkan senyawa yang menghambat bekerjanya enzyme trypsin dalam menguraikan protein menjadi asam amino dalam proses pencernaan. Proses berikutnya pencampuran biji dengan bahan-bahan lain dengan cara diblender dan penambahan essence untuk menambah cita rasa sesuai selera. (Aks)


Perbandingan nilai gizi antara kecipir, kedelai dan kacang tanah
-------------------------------------------------------
Zat gizi Kecipir Kedelai Kacang tanah
-------------------------------------------------------
Protein (gr) 29,8-37,4 35,1 23,4
Energy (kal) 375-410 400 548
Karbohidrat (gr)25,2-38,4 32,0 21,0
Lemak (gr) 15,0-18,3 17,7 45,3
Serat (gr) 3,7-9,4 4,2 2,1
Abu (gr) 3,3-4,3 5,0 2,4
Air (gr) 8,7-24,6 4,0 7,5

Tempe Dibuat Sozis, Naikkan Gengsi dan Nilai Jual

BANYAK makanan bernilai gizi tinggi, tapi kurang menarik disantap karena penyajiannya yang kurang inovatif. Salah satunya adalah tempe. Akibatnya makanan olahan dari kedelai ini dianggap sebagai makanan kelas bawah. Padahal di Eropa, tempe telah menjadi makanan alternatif pengganti daging yang sudah sangat dikenal karena kandungan proteinnya yang tinggi.
Sejumlah mahasiswa yang aktif di Pusat Pengembangan Kewirausahaan Mahasiswa (PPKM) Faerumnesia Fakultas Pertanian UGM menciptakan inovasi. Mereka membuat sozis dari bahan utama tempe. Tujuannya agar tempe tersaji lebih menarik, rasanya lebih enak, prestise sosialnya lebih tinggi dan pada gilirannya nilai komersial tempe meningkat.
"Melihat banyaknya konsumsi tempe di Indonesia, sebenarnya ada peluang besar untuk membuka usaha pengolahan tempe menjadi aneka produk olahan yang lebih bervariasi. Salah satu produk tersebut adalah sozis tempe. Apalagi jika kita lihat, daya tahan tempe masih sangat rendah, hanya sekitar 2 hari," ujar Aris Mishbah, mahasiswa jurusan sosial ekonomi pertanian angkatan 2008 UGM kepada KR, Selasa (12/5).
Bersama empat temannya yang lain, Dyah Ayu Safitri, Gita Triantika, Maulana Raharjo dan Fatmawati dan arahan dosen pembimbing Dr Jangkung Handoyo Mulyo MEc, mereka berkreasi. Sozis tempe yang dihasilkan sementara ini dijual di kantin PPKM Fakultas Pertanian UGM yang sudah dalam bentuk siap santap.
Selain lebih menarik penyajiannya, terang Maulana, sozis tempe juga lebih enak karena dapat dibuat aneka rasa dan daya simpannya menjadi lebih lama. Proses pengolahannya pun sangat sederhana. Tempe dipotong-potong menjadi beberapa potongan kecil, lalu dihaluskan dengan cara digiling atau ditumbuk. Memasukkan putih telur, bumbu, air es dan juga mencampurkan tepung tapioka.
"Tuangkan minyak jagung kedalam campuran bahan sambil diaduk-aduk hingga menjadi adonan yang menyerupai pasta. Masukkan adonan itu ke dalam casing (selongsong) sepanjang 10 cm, lalu diikat ujungnya dengan benang erat-erat," papar para mahasiswa yang tergabung dalam JAPA Group Fakultas Pertanian UGM ini.
Setelah itu, sozis tempe dimasak dengan cara direbus atau dioven pada suhu yang tetap, kemudian diangkat dari rebusan dan didinginkan. Soziss de Soya yang sudah jadi dan telah didinginkan tersebut kemudian dikemas menggunakan plastik tipis khusus untuk membungkus sozis. Sozis dikemas dengan sistem kedap udara sehingga tidak ada organisme yang masuk dan bisa memperlama daya tahan Sozis.
Ditambahkan, Indonesia merupakan negara produsen tempe terbesar di dunia dan menjadi pasar kedelai terbesar di Asia. Sebanyak 50% dari konsumsi kedelai Indonesia dilakukan dalam bentuk tempe, 40% tahu, dan 10% dalam bentuk produk lain (seperti tauco, kecap, dan lain-lain). Konsumsi tempe rata-rata perorang pertahun di Indonesia saat ini diduga sekitar 6,45 kg (Rukmana, 2001).
"Dengan program ini diharapkan muncul usaha baru di bidang pengolahan tempe, sehingga menghasilkan olahan baru berupa sozis aneka rasa dimana rasa yang akan dikembangkan adalah udang, ayam, dan sapi dengan kandungan gizi yang lebih tinggi dan lebih diminati masyarakat," tandas Aris.
Apabila program ini dapat dilaksanakan dengan baik, diharapkan dapat berguna dalam membangun semangat para mahasiswa untuk sesegera mungkin belajar hidup mandiri dan terbebas dari pola pikir job seeker minded. Sehingga tertanam jiwa wirausaha kepada para mahasiswa sejak dini. Dengan demikian diharapkan pengangguran dari lulusan perguruan tinggi dapat dikurangi dan para sarjana mampu membuka lapangan kerja baru. (Aksan Susanto)

20 April 2009

Melakukan Dengan Lebih Baik

Pada waktu bersamaan, Joko dan Aryo diterima bekerja pada sebuah perusahaan importir buah-buahan sebagai tenaga pemasaran. Tak salah perusahaan memilih mereka. Terbukti, keduanya mampu melakukan semua tugas dengan baik sesuai target. Yang menarik, perjalanan karir mereka mulai berbeda saat memasuki tahun kedua. Aryo dipromosikan menduduki jabatan manajer sedangkan Joko tidak. Joko sakit hati dan iri pada kesuksesan Aryo. Pasalnya, yang dilakukan Aryo tak jauh berbeda dengan dia kerjakan. Akhirnya ia mengajukan surat pengunduran diri.
“Mengapa kau lakukan hal ini?” tanya atasannya.
“Terus terang saya tidak puas, lantaran kriteria yang mendasari promosi jabatan di perusahaan tidak jelas,” jawab Joko.
“Oh, begitu!” Si Bos maklum ke mana arah pernyataan anak buahnya.
“Begini saja. Sebelum saya tandatangani suratmu, pergilah ke jalan. Laporkan apakah ada toko yang menjual produk kita.”
“Oke,” jawab Joko. Beberapa saat kemudian ia kembali dan melaporkan yang didapatnya.
“Ya, benar. Ada buah-buahan kita yang dijual di jalan hari ini.”
Saat itu Aryo dipanggil juga dan disuruh melakukan hal yang sama. Lima belas menit kemudian Aryo kembali untuk melaporkan apa yang didapatnya.
“Di sepanjang jalan ini hanya ada satu toko yang menjual buah-buahan dari perusahaan kita. Pemiliknya bernama Gayus. Ia menjual jeruk grapefruit Rp.15.000/kg. Sedangkan apel Australia ia jual Rp.12.500/kg. Kalau nilai belanjaan seseorang melebihi Rp.50.000,- ia memberi bonus empat buah jeruk gratis. Apalagi informasi yang Bapak perlukan ?” jelas Aryo.
“Cukup. Terima kasih, kamu boleh keluar,” jawab sang Bos. Kemudian ia bertanya kepada Joko yang termangu di tempatnya. “Apakah kamu masih tetap ingin mundur?”
“Tidak jadi,” jawab Yohan tersipu. “Saya akan berusaha melakukan sesuatu lebih dari Aryo.”
Kita seharusnya melakukan segala sesuatu lebih baik, untuk kebaikan diri kita sendiri.

Si malas banyak keinginan tapi tak satu pun yang dicapainya,
orang yang bekerja keras mendapat segala yang diinginkannya.

16 April 2009

Work is Where You Play

JUDUL di atas saya temukan pada sebuah gedung perkantoran. Work is Where You Play. Terjemahan bebasnya, bekerja dan bermain itu mestinya menyatu, di sinilah tempatnya. Tetapi saya ragu mungkin yang ditawarkan oleh iklan ini sekadar promosi gedung yang dianggap mengasyikkan, bukannya kualitas dan jenis pekerjaan sebagaimana pesan judul di atas.
Ciri bermain adalah adanya antusiasme untuk meraih prestasi dengan insentif kepuasan emosional, bukannya material. Orang yang asyik bermain akan lupa waktu. Perhatikan saja para pemain bola kaki, tenis, atau golf, rasanya waktu masih kurang begitu permainan dinyatakan berakhir.Terlebih pada golf, selalu saja ada nafsu untuk memperbaiki kekurangan dan kesalahan yang telah diperbuat agar tidak terulang pada hole berikutnya atau permainan di hari lain.Andaikan suasana kerja seantusias bermain, pasti perusahaan dan negara tak akan bangkrut. Tentu saja bermain hanyalah selingan dalam hidup.

Hidup mesti diisi kerja produktif. Salah satu yang membuat semangat dalam bekerja adalah insentif gaji. Tetapi hubungan semangat kerja dan gaji tidak selalu memiliki korelasi positif, terutama di kalangan pegawai negeri sipil tingkat bawah, sehingga populer istilah PGPS, pinter-goblok penghasilan sama. Yakin bahwa jumlah gaji tak bertambah sekalipun kerja meningkat, maka gaji bulanan lama-lama kehilangan daya dorong untuk membuat seseorang bekerja lebih kreatif dan produktif.

Yang menyedihkan, mereka yang memiliki jabatan lalu menciptakan dan mengejar insentif di luar gaji—yang sejak awal kebijakan itu diatur sedemikian rupa sehingga yang terjadi tak lebih sebagai praktik korupsi terselubung. Bekerja dengan cara demikian ibarat permainan, mereka bermain kotor, curang, dan kalaupun menang puasnya semu.Sebuah kemenangan bohong-bohongan.

You Are What You Do
Harga diri seseorang akan terbentuk dan terukur oleh hasil karya. Bekerja adalah dorongan, tuntutan, dan kebutuhan manusia sebagaimana makan, bernafas, ataupun tidur. Kerja adalah kebutuhan eksistensial.

Bayangkan bila dalam seminggu hari kerja hanya dua hari, selebihnya menganggur, pasti tidak membuat manusia bahagia. Menganggur, tidak ada aktivitas dan penghasilan, akan menggerogoti harga diri dan kebahagiaan. Kebahagiaan hidup diraih dengan kerja produktif yang bermakna bagi orang lain. Yang paling ideal adalah jika seseorang bisa menyatukan antara hobi dan bekerja yang sekaligus mendatangkan insentif uang dan penghargaan masyarakat.

Kerja semacam itu pasti menggairahkan sebagaimana kita bermain atas dasar hobi, namun mendatangkan uang dan menggembirakan orang lain. Dalam konteks ini adalah para pekerja seni yang mendekati kriteria dimaksud. Bercampur antara bermain, bekerja, dan menghibur orang lain. Karena itu, pemain piano yang sedang manggung dan bermain secara total, misalnya, ketika sudah hanyut dalam permainan bisa lupa apakah permainan itu ditonton orang atau tidak.

Dia tidak peduli. Begitu juga atlet sejati. Tidak lagi ada batas antara bekerja dan bermain serta aktualisasi diri. Bintang sepak bola dunia begitu turun ke lapangan bagaikan penari naik panggung,atau perenang masukkolam, mereka lebur secara total ke dalamnya,tak lagi memikirkan insentif uang.

Makanya ada nasihat,kalau Anda sedang bertanding tenis, misalnya, fokus dan leburlah dalam permainan,jangan sering sering melihat papan nilai karena akan merusak permainan. Orang yang focus pada insentif akan menomorduakan pekerjaan,tetapi jika seorang profesional berkarya secara optimal, insentif akan mengejar dan melayaninya.

Mengubah Makna Kerja

Orang yang bekerja tanpa skill dan hati, akan membuat ruang kerjanya berubah menjadi ruang tahanan sehingga judul di atas berubah menjadi: Work is Where You are Becoming a Prisoner.

Bekerja tanpa skill, spirit pengabdian, dan cinta pada profesi akan terasa sangat melelahkan, bahkan menyiksa. Begitu masuk ruang kerja, Anda tiba-tiba secara psikologis masuk ruang tahanan. Padahal rumus yang ideal: 9 to 5 is a happy hour. Situasi inilah yang mungkin dinikmati oleh para pekerja seni dan atlet profesional.

Mestinya, jenis pekerjaan apa pun bisa diubah atau diciptakan sebagai aktualisasi diri yang mengasyikkan sehingga seseorang bekerja melebihi jatah waktu dan target. Hidup,berkarya,dan bermain dikondisikan agar menjadi satu paket, three in one. Bukankah hidup itu sendiri sebuah anugerah Tuhan yang harus dirayakan dengan kerja kreatif, produktif, dan konstruktif?
Dengan semakin majunya teknologi modern, sekarang ini sangat memungkinkan menciptakan suasana kerja lebih nyaman dan menyenangkan tanpa mengurangi produktivitas. Lebih dari sekadar tempat bekerja,suasana kantor mestinya juga diubah agar menjadi suatu komunitas eksklusif dengan aura kekerabatan dan pertemanan yang semuanya tetap memiliki komitmen menjaga etika profesionalisme.

Orang yang bekerja namun tidak memiliki kebanggaan dan kepuasaan atas hasilnya disebut ”alienated person”, yaitu pribadi yang tercerabut dan tersingkir dari apa yang dia lakukan. Lebih parah lagi kalau seseorang benci pada pekerjaannya, lalu berkembang pada lingkungan sosialnya.Orang itu akan mengalami kepribadian yang terbelah dan lebih jauh lagi bisa disebut sakit mental.

Jika tidak bekerja takut akan bayang-bayang pengangguran, jika tidak bekerja tidak akan memiliki penghasilan tetap, sementara kalau masuk kerja juga merasa tersiksa. Inilah yang dimaksud teralienasi, saat seseorang tidak lagi menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Dengan bekerja manusia menjadi dirinya dan menjaga martabatnya.

Coba renungkan. Tuhan memberikan semua fasilitas yang terhampar dan tersimpan di bumi, lalu manusia dianugerahi organ tubuh yang sangat canggih serta pikiran yang sangat hebat. Untuk apa semua itu jika tidak untuk berkarya memakmurkan bumi dan berbagi kasih sayang serta kebajikan dengan sesamanya? Demikianlah yang selalu diulang-ulang oleh Alquran, bahwa anjuran beriman mesti selalu dikaitkan dengan perintah amal saleh.

Yaitu perbuatan yang benar, baik,dan berguna.Ajaran ini akan dijumpai pada semua agama. Ciri orang yang beriman adalah mereka yang selalu berkarya di jalan yang benar dan baik,untuk tujuan kebenaran dan kebaikan. Tetapi bekerja sekadar benar dan baik belumlah cukup. Mesti ditambah nilai keindahan. Banyak pekerjaan yang benar dan baik, tetapi belum tentu indah. Tanpa keindahan, kehidupan akan terasa kering. Tanpa kerja produktif, seseorang juga akan kehilangan harga diri.

Jangan bayangkan seseorang akan merasa bahagia dengan mengandalkan warisan orangtua tanpa yang bersangkutan memiliki keterampilan kerja. Berulang kali saya bertemu pemuda yang merasa dirinya kaya, secara ekonomi berlimpah, namun hidupnya tidak bahagia karena tidak memiliki keterampilan dan kepandaian yang dibanggakan.Dia hidup bersama keluarganya dengan harta warisan orangtua yang telah meninggal.

Dihatinya dia merasa iri dan malu terhadap teman sebayanya yang bisa bekerja secara profesional dan hasil karyanya mendapat penghargaan dari masyarakat. Jadi,kerja,harga diri,dan kebahagiaan saling terkait, isi mengisi. Menjadi persoalan ketika bekerja secara terpaksa karena tidak ada pilihan lain. Yang demikian ini dialami oleh banyak penduduk Indonesia.

Langkah pertama adalah mengembangkan keterampilan dan mencari pekerjaan yang cocok dan disenangi, entah di lingkungan lama ataupun yang baru.Kedua, jika kondisi eksternal tidak bisa diubah, maka seseorang harus mengubah kondisi internal, yaitu belajar mencintai pekerjaan yang tersedia.

Namun di atas semua itu, seseorang akan merasa bermakna hidup dan aktivitasnya kalau memiliki niat dan pandangan hidup yang mulia bahwa hidup adalah festival yang harus dirayakan dan hidup adalah anugerah yang mesti disyukuri serta dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Kalau kita bekerja semata mengharapkan insentif material-duniawi, bersiaplah untuk kecewa. Kebaikan orang biasanya bersyarat dan terbatas.

Orang cenderung memikirkan dirinya sendiri dan enggan berkorban serta memberi berlebih pada orang lain kecuali ada kalkulasi untung-rugi.Kecuali mereka yang benar-benar menghayati bahwa kemuliaan dan kebahagiaan itu justru terletak dalam mencintai dan memberi, bukannya meminta dan mengambil, sebagai rasa syukur pada Sang Pemberi Hidup.

Jadi, berbahagialah mereka yang berhasil mempertemukan: bekerja, bermain, beramal saleh,bermasyarakat dan mensyukuri hidup.I work, therefore I am; bukannya,I have therefore I am. Eksistensiku ditandai dengan karyaku,bukan karena hartaku.(*)

Ke Belanda Mau Kuliah atau Rekreasi?

PIKIRAN tersebut barangkali akan menggoda siapapun yang berniat menempuh studi ke Belanda. Bagaimana tidak ? Selain menawarkan institusi pendidikan berkualitas dan bergengsi, negeri kincir angin itu juga memiliki banyak sekali tempat yang memikat untuk dikunjungi dan konon tiada bandingannya dengan obyek wisata lain dimanapun.
Salah satu tempat yang sangat menggoda adalah Utrecht, kota terbesar keempat dan teramai di Belanda. Obyek andalan di kota tua ini berupa sungai atau kanal dengan perairan yang bersih dan dermaga beserta pedestrian di sepanjang tepi kanal. Di sekitarnya berdiri megah bangunan-bangunan kuno yang indah. Terdapat pula tempat-tempat makan yang nikmat di sepanjang perairan tersebut.

Satu lagi yang membuat daya tarik Utrecht semakin tak tertandingi, adalah keberadaan Dom Tower. Peninggalan bersejarah yang telah berumur sekitar 600 tahun dengan ketinggian 112 meter tersebut merupakan bangunan tertinggi di Belanda, sekaligus menjadi landmark kota Utrecht. Dengan menapaki 465 anak tangga, mata pengunjung akan dibuai dengan pemandangan fantastik kota Utrecht yang terhampar di sekelilingnya.
Ketika berkunjung ke Utrecht, pesona kota tersebut langsung terlihat setibanya di stasiun Utrecht. Begitu turun dari kereta api, wisatawan dapat berjalan lurus ke toko-toko. Di tempat itu pula berjajar ragam kuliner yang siap dinikmati sambil memanjakan mata dengan menebar pandangan ke arah kanal. Tak hanya cukup dipandang, di kanal tersebut pengunjung dapat bermain-main dengan naik sepeda air, perahu maupun kano untuk menjelajahi perairan. Sesuai namanya, konon Provinsi Utrecht berasal dari dua kata yaitu Uut yang berarti hilir dan Trecht yang berarti mengarungi.
Utrecht juga merupakan sebuah kota yang bersahabat dengan jantung perbelanjaan, kafe jalanan yang ramah, serta kehidupan malam yang semarak. Di sini ramai dengan pub dan kafe, rumah makan sederhana maupun restoran, pusat-pusat pertemuan dan kongres kontemporer diselenggarkan.
Masih banyak bagian lain dari kota itu yang tak kalah mempesona. Namun rasanya tidak akan pernah cukup kata untuk melukiskan kecantikan Utrecht. Ditambah lagi predikat yang disandang Utrecht sebagai pusat kebudayaan Belanda. Berbagai pertunjukan bertaraf internasional digelar sepanjang waktu, mulai dari event mingguan hingga event tahunan. Misalnya Holland Festival of Old Music, The Wharf Area Theatre Festival, The Festival of Modern Dance, The Springdance Movementand Dutch Film Days dan Cultural Sundays.

Tempat Kuliah Bergengsi
Siapa yang tidak tertarik mengunjungi Utrecht ? Pertanyaan ini mengingatkan kita pada motto pariwisata Tanah Toraja di Sulawesi Tengah “Jangan Mati Sebelum ke Tanah Toraja”. Tak berlebihan pula jika slogan ini dijiplak menjadi “Jangan Mati Sebelum ke Utrecht”. Bukan hanya untuk tujuan wisata, melainkan juga untuk keperluan pendidikan. Karena di kota ini pula terdapat Utrecht University, salah satu perguruan tinggi terbaik di Belanda.
Universitas yang berdiri sejak tahun 1636 di jantung negara Belanda ini menempati rangking 9 terbaik di Eropa dan berada di peringkat ke-47 terbaik di dunia berdasarkan Shanghai Academic Rankings of World Universities 2008. Setiap tahun tak kurang dari 2.000 mahasiswa dari seluruh dunia masuk di universitas tersebut untuk ambil bagian dalam kelas internasional. Sehingga akan mengantarkan para mahasiswa bergabung dalam pergaulan global yang sangat luas. Eksistensi Utrecht University juga terlihat dari jumlah mahasiswanya yang mencapai lebih dari 29.000 orang (terhitung pada tahun 2008).
Belanda memang menjadi incaran bagi peminat pendidikan dari seluruh penjuru dunia. Selain pertimbangan kualitas, faktor lainnya adalah banyaknya program internasional yang dibuka. Tak kurang dari 14.000 program studi di Belanda merupakan kelas internasional dengan pengantar Bahasa Inggris. Ditambah lagi banyaknya tawaran dan peluang beasiswa, menjadikan Belanda sebagai magnet pendidikan global.

Ladang Ilmu Pengetahuan
Secara umum negeri Belanda juga merupakan ladang ilmu pengetahuan yang menarik untuk dipelajari dan digali bukan hanya dari dalam kampus. Seorang teman yang pernah berkesempatan mengunjungi Amsterdam menceritakan bahwa kota ini mampu bertahan pada reputasi sebagai ‘Kota Hijau’ (tidak polusif akibat kimiawi) sekaligus kota wisata yang benar-benar surga bagi pejalan kaki dan memberi akses luar biasa pada pengguna sepeda onthel.
Fasilitas bagi pengendara sepeda, sangat dimanjakan. Ada jalur sendiri, berdampingan dengan trem. Di kawasan Dam Square yang dipenuhi resto dan kafe ‘mahal’ memberi akses parkir sepeda. Lazim saja orang berjas-dasi ala manajer bank (kalau di Indonesia) atau perempuan-perempuan modis secantik peragawati, datang ke kafe mengendarai sepeda untuk makan dan minum menghabiskan puluhan Euro.
Agaknya kebiasaan itu makin mustahil terjadi di Indonesia, apalagi Jakarta yang telanjur memposisikan motor dan mobil sebagai lambang kesuksesan status sosial-ekonomi seseorang. Transportasi kota dan antarkota di Amsterdam, memang sudah demikian maju dengan validitas infrastruktur mampu bertahan minimal 100 tahun. Pemerintah bekerjasama dengan para ilmuwan, terus menjaga dan meng-up date secara terintegrasi. Sehingga pembangunan untuk perkembangan terus berjalan seiring dengan zaman. Akan tetapi bukan pembongkaran apalagi asal penggusuran yang jauh dari konsep sustaintable.Buktinya, Amsterdam terus berkembang. Namun lalu lintas tidak crowded. Tetap saja surga bagi pejalan kaki, surga bagi pengendara sepeda. Pepohonan tetap tinggi dan rindang.
Taman-taman kota yang luas, leluasa bagi habitat burung merpati. Di sungai, selain berseliweran kapal boat, juga berenangan keluarga angsa putih. Ini menandakan, air sungai sehat, kapal sangat terjaga sehingga tidak mencemari lingkungan hidup sungai.
Seorang sahabat lain yang menikah dengan pria Belanda dan telah mukim 17 tahun di kota Alkmaar – 30 menit dari Amsterdam – mengaku sangat nyaman bersepeda. Meski memiliki mobil sedan Peugeot, hanya dikendarai kalau ke luar kota untuk rekreasi. Ke kantor dan belanja, dia bersepeda.
Untuk itu, dia memiliki 5 sepeda. “ Untuk cadangan kalau ada yang rusak, karena suami dan anakku juga bersepeda,” katanya. “Di sini tidak perlu takut dibilang miskin lantaran naik sepeda,” tambahnya bercanda. Semua warga negara, apalagi penduduk Alkmaar, tambahnya, sangat paham bahwa orang yang bersepeda adalah orang memiliki budaya tinggi. Bijak pada alam raya, salah satu cara untuk menghangatkan tubuh secara alamiah dan sehat. Cara melawan dingin hidup di negeri empat musim dengan merokok, sudah lama ditinggalkan karena kontraproduktif. Tidak ekonomis, menghadirkan penyakit dan merusak lingkungan. Akan tetapi untuk wine dan sedikit alkohol, memang telah menjadi bagian dari kuliner mereka.
Itulah ladang pengetahuan yang bisa dipelajari di negeri yang sebagian wilayahnya berada di bawah permukaan laut itu. Sangat kontekstual juga dengan kondisi Indonesia. Jadi, jangan-jangan banyak orang mengincar Belanda sebagai negara tujuan studi karena memang ingin memuaskan keinginannya menikmati obyek wisatanya. Kesimpulan yang paling moderat mungkin sesuai dengan peribahasa ”sambil menyelam minum air”, kuliah sambil berekreasi di dunia yang tiada tandingannya.
Saya juga masih penasaran dengan alam kebebasan berpendapat di Belanda, termasuk munculnya film ’fitna’ yang ’direstui’ masyarakat dan Pemerintah Belanda. Sehingga siapa yang tidak ngiler bisa mengikuti program summer school di Utrecht ? (Aksan Susanto)