20 April 2009

Melakukan Dengan Lebih Baik

Pada waktu bersamaan, Joko dan Aryo diterima bekerja pada sebuah perusahaan importir buah-buahan sebagai tenaga pemasaran. Tak salah perusahaan memilih mereka. Terbukti, keduanya mampu melakukan semua tugas dengan baik sesuai target. Yang menarik, perjalanan karir mereka mulai berbeda saat memasuki tahun kedua. Aryo dipromosikan menduduki jabatan manajer sedangkan Joko tidak. Joko sakit hati dan iri pada kesuksesan Aryo. Pasalnya, yang dilakukan Aryo tak jauh berbeda dengan dia kerjakan. Akhirnya ia mengajukan surat pengunduran diri.
“Mengapa kau lakukan hal ini?” tanya atasannya.
“Terus terang saya tidak puas, lantaran kriteria yang mendasari promosi jabatan di perusahaan tidak jelas,” jawab Joko.
“Oh, begitu!” Si Bos maklum ke mana arah pernyataan anak buahnya.
“Begini saja. Sebelum saya tandatangani suratmu, pergilah ke jalan. Laporkan apakah ada toko yang menjual produk kita.”
“Oke,” jawab Joko. Beberapa saat kemudian ia kembali dan melaporkan yang didapatnya.
“Ya, benar. Ada buah-buahan kita yang dijual di jalan hari ini.”
Saat itu Aryo dipanggil juga dan disuruh melakukan hal yang sama. Lima belas menit kemudian Aryo kembali untuk melaporkan apa yang didapatnya.
“Di sepanjang jalan ini hanya ada satu toko yang menjual buah-buahan dari perusahaan kita. Pemiliknya bernama Gayus. Ia menjual jeruk grapefruit Rp.15.000/kg. Sedangkan apel Australia ia jual Rp.12.500/kg. Kalau nilai belanjaan seseorang melebihi Rp.50.000,- ia memberi bonus empat buah jeruk gratis. Apalagi informasi yang Bapak perlukan ?” jelas Aryo.
“Cukup. Terima kasih, kamu boleh keluar,” jawab sang Bos. Kemudian ia bertanya kepada Joko yang termangu di tempatnya. “Apakah kamu masih tetap ingin mundur?”
“Tidak jadi,” jawab Yohan tersipu. “Saya akan berusaha melakukan sesuatu lebih dari Aryo.”
Kita seharusnya melakukan segala sesuatu lebih baik, untuk kebaikan diri kita sendiri.

Si malas banyak keinginan tapi tak satu pun yang dicapainya,
orang yang bekerja keras mendapat segala yang diinginkannya.

16 April 2009

Work is Where You Play

JUDUL di atas saya temukan pada sebuah gedung perkantoran. Work is Where You Play. Terjemahan bebasnya, bekerja dan bermain itu mestinya menyatu, di sinilah tempatnya. Tetapi saya ragu mungkin yang ditawarkan oleh iklan ini sekadar promosi gedung yang dianggap mengasyikkan, bukannya kualitas dan jenis pekerjaan sebagaimana pesan judul di atas.
Ciri bermain adalah adanya antusiasme untuk meraih prestasi dengan insentif kepuasan emosional, bukannya material. Orang yang asyik bermain akan lupa waktu. Perhatikan saja para pemain bola kaki, tenis, atau golf, rasanya waktu masih kurang begitu permainan dinyatakan berakhir.Terlebih pada golf, selalu saja ada nafsu untuk memperbaiki kekurangan dan kesalahan yang telah diperbuat agar tidak terulang pada hole berikutnya atau permainan di hari lain.Andaikan suasana kerja seantusias bermain, pasti perusahaan dan negara tak akan bangkrut. Tentu saja bermain hanyalah selingan dalam hidup.

Hidup mesti diisi kerja produktif. Salah satu yang membuat semangat dalam bekerja adalah insentif gaji. Tetapi hubungan semangat kerja dan gaji tidak selalu memiliki korelasi positif, terutama di kalangan pegawai negeri sipil tingkat bawah, sehingga populer istilah PGPS, pinter-goblok penghasilan sama. Yakin bahwa jumlah gaji tak bertambah sekalipun kerja meningkat, maka gaji bulanan lama-lama kehilangan daya dorong untuk membuat seseorang bekerja lebih kreatif dan produktif.

Yang menyedihkan, mereka yang memiliki jabatan lalu menciptakan dan mengejar insentif di luar gaji—yang sejak awal kebijakan itu diatur sedemikian rupa sehingga yang terjadi tak lebih sebagai praktik korupsi terselubung. Bekerja dengan cara demikian ibarat permainan, mereka bermain kotor, curang, dan kalaupun menang puasnya semu.Sebuah kemenangan bohong-bohongan.

You Are What You Do
Harga diri seseorang akan terbentuk dan terukur oleh hasil karya. Bekerja adalah dorongan, tuntutan, dan kebutuhan manusia sebagaimana makan, bernafas, ataupun tidur. Kerja adalah kebutuhan eksistensial.

Bayangkan bila dalam seminggu hari kerja hanya dua hari, selebihnya menganggur, pasti tidak membuat manusia bahagia. Menganggur, tidak ada aktivitas dan penghasilan, akan menggerogoti harga diri dan kebahagiaan. Kebahagiaan hidup diraih dengan kerja produktif yang bermakna bagi orang lain. Yang paling ideal adalah jika seseorang bisa menyatukan antara hobi dan bekerja yang sekaligus mendatangkan insentif uang dan penghargaan masyarakat.

Kerja semacam itu pasti menggairahkan sebagaimana kita bermain atas dasar hobi, namun mendatangkan uang dan menggembirakan orang lain. Dalam konteks ini adalah para pekerja seni yang mendekati kriteria dimaksud. Bercampur antara bermain, bekerja, dan menghibur orang lain. Karena itu, pemain piano yang sedang manggung dan bermain secara total, misalnya, ketika sudah hanyut dalam permainan bisa lupa apakah permainan itu ditonton orang atau tidak.

Dia tidak peduli. Begitu juga atlet sejati. Tidak lagi ada batas antara bekerja dan bermain serta aktualisasi diri. Bintang sepak bola dunia begitu turun ke lapangan bagaikan penari naik panggung,atau perenang masukkolam, mereka lebur secara total ke dalamnya,tak lagi memikirkan insentif uang.

Makanya ada nasihat,kalau Anda sedang bertanding tenis, misalnya, fokus dan leburlah dalam permainan,jangan sering sering melihat papan nilai karena akan merusak permainan. Orang yang focus pada insentif akan menomorduakan pekerjaan,tetapi jika seorang profesional berkarya secara optimal, insentif akan mengejar dan melayaninya.

Mengubah Makna Kerja

Orang yang bekerja tanpa skill dan hati, akan membuat ruang kerjanya berubah menjadi ruang tahanan sehingga judul di atas berubah menjadi: Work is Where You are Becoming a Prisoner.

Bekerja tanpa skill, spirit pengabdian, dan cinta pada profesi akan terasa sangat melelahkan, bahkan menyiksa. Begitu masuk ruang kerja, Anda tiba-tiba secara psikologis masuk ruang tahanan. Padahal rumus yang ideal: 9 to 5 is a happy hour. Situasi inilah yang mungkin dinikmati oleh para pekerja seni dan atlet profesional.

Mestinya, jenis pekerjaan apa pun bisa diubah atau diciptakan sebagai aktualisasi diri yang mengasyikkan sehingga seseorang bekerja melebihi jatah waktu dan target. Hidup,berkarya,dan bermain dikondisikan agar menjadi satu paket, three in one. Bukankah hidup itu sendiri sebuah anugerah Tuhan yang harus dirayakan dengan kerja kreatif, produktif, dan konstruktif?
Dengan semakin majunya teknologi modern, sekarang ini sangat memungkinkan menciptakan suasana kerja lebih nyaman dan menyenangkan tanpa mengurangi produktivitas. Lebih dari sekadar tempat bekerja,suasana kantor mestinya juga diubah agar menjadi suatu komunitas eksklusif dengan aura kekerabatan dan pertemanan yang semuanya tetap memiliki komitmen menjaga etika profesionalisme.

Orang yang bekerja namun tidak memiliki kebanggaan dan kepuasaan atas hasilnya disebut ”alienated person”, yaitu pribadi yang tercerabut dan tersingkir dari apa yang dia lakukan. Lebih parah lagi kalau seseorang benci pada pekerjaannya, lalu berkembang pada lingkungan sosialnya.Orang itu akan mengalami kepribadian yang terbelah dan lebih jauh lagi bisa disebut sakit mental.

Jika tidak bekerja takut akan bayang-bayang pengangguran, jika tidak bekerja tidak akan memiliki penghasilan tetap, sementara kalau masuk kerja juga merasa tersiksa. Inilah yang dimaksud teralienasi, saat seseorang tidak lagi menjadi tuan bagi dirinya sendiri. Dengan bekerja manusia menjadi dirinya dan menjaga martabatnya.

Coba renungkan. Tuhan memberikan semua fasilitas yang terhampar dan tersimpan di bumi, lalu manusia dianugerahi organ tubuh yang sangat canggih serta pikiran yang sangat hebat. Untuk apa semua itu jika tidak untuk berkarya memakmurkan bumi dan berbagi kasih sayang serta kebajikan dengan sesamanya? Demikianlah yang selalu diulang-ulang oleh Alquran, bahwa anjuran beriman mesti selalu dikaitkan dengan perintah amal saleh.

Yaitu perbuatan yang benar, baik,dan berguna.Ajaran ini akan dijumpai pada semua agama. Ciri orang yang beriman adalah mereka yang selalu berkarya di jalan yang benar dan baik,untuk tujuan kebenaran dan kebaikan. Tetapi bekerja sekadar benar dan baik belumlah cukup. Mesti ditambah nilai keindahan. Banyak pekerjaan yang benar dan baik, tetapi belum tentu indah. Tanpa keindahan, kehidupan akan terasa kering. Tanpa kerja produktif, seseorang juga akan kehilangan harga diri.

Jangan bayangkan seseorang akan merasa bahagia dengan mengandalkan warisan orangtua tanpa yang bersangkutan memiliki keterampilan kerja. Berulang kali saya bertemu pemuda yang merasa dirinya kaya, secara ekonomi berlimpah, namun hidupnya tidak bahagia karena tidak memiliki keterampilan dan kepandaian yang dibanggakan.Dia hidup bersama keluarganya dengan harta warisan orangtua yang telah meninggal.

Dihatinya dia merasa iri dan malu terhadap teman sebayanya yang bisa bekerja secara profesional dan hasil karyanya mendapat penghargaan dari masyarakat. Jadi,kerja,harga diri,dan kebahagiaan saling terkait, isi mengisi. Menjadi persoalan ketika bekerja secara terpaksa karena tidak ada pilihan lain. Yang demikian ini dialami oleh banyak penduduk Indonesia.

Langkah pertama adalah mengembangkan keterampilan dan mencari pekerjaan yang cocok dan disenangi, entah di lingkungan lama ataupun yang baru.Kedua, jika kondisi eksternal tidak bisa diubah, maka seseorang harus mengubah kondisi internal, yaitu belajar mencintai pekerjaan yang tersedia.

Namun di atas semua itu, seseorang akan merasa bermakna hidup dan aktivitasnya kalau memiliki niat dan pandangan hidup yang mulia bahwa hidup adalah festival yang harus dirayakan dan hidup adalah anugerah yang mesti disyukuri serta dipertanggungjawabkan di hadapan Tuhan. Kalau kita bekerja semata mengharapkan insentif material-duniawi, bersiaplah untuk kecewa. Kebaikan orang biasanya bersyarat dan terbatas.

Orang cenderung memikirkan dirinya sendiri dan enggan berkorban serta memberi berlebih pada orang lain kecuali ada kalkulasi untung-rugi.Kecuali mereka yang benar-benar menghayati bahwa kemuliaan dan kebahagiaan itu justru terletak dalam mencintai dan memberi, bukannya meminta dan mengambil, sebagai rasa syukur pada Sang Pemberi Hidup.

Jadi, berbahagialah mereka yang berhasil mempertemukan: bekerja, bermain, beramal saleh,bermasyarakat dan mensyukuri hidup.I work, therefore I am; bukannya,I have therefore I am. Eksistensiku ditandai dengan karyaku,bukan karena hartaku.(*)

Ke Belanda Mau Kuliah atau Rekreasi?

PIKIRAN tersebut barangkali akan menggoda siapapun yang berniat menempuh studi ke Belanda. Bagaimana tidak ? Selain menawarkan institusi pendidikan berkualitas dan bergengsi, negeri kincir angin itu juga memiliki banyak sekali tempat yang memikat untuk dikunjungi dan konon tiada bandingannya dengan obyek wisata lain dimanapun.
Salah satu tempat yang sangat menggoda adalah Utrecht, kota terbesar keempat dan teramai di Belanda. Obyek andalan di kota tua ini berupa sungai atau kanal dengan perairan yang bersih dan dermaga beserta pedestrian di sepanjang tepi kanal. Di sekitarnya berdiri megah bangunan-bangunan kuno yang indah. Terdapat pula tempat-tempat makan yang nikmat di sepanjang perairan tersebut.

Satu lagi yang membuat daya tarik Utrecht semakin tak tertandingi, adalah keberadaan Dom Tower. Peninggalan bersejarah yang telah berumur sekitar 600 tahun dengan ketinggian 112 meter tersebut merupakan bangunan tertinggi di Belanda, sekaligus menjadi landmark kota Utrecht. Dengan menapaki 465 anak tangga, mata pengunjung akan dibuai dengan pemandangan fantastik kota Utrecht yang terhampar di sekelilingnya.
Ketika berkunjung ke Utrecht, pesona kota tersebut langsung terlihat setibanya di stasiun Utrecht. Begitu turun dari kereta api, wisatawan dapat berjalan lurus ke toko-toko. Di tempat itu pula berjajar ragam kuliner yang siap dinikmati sambil memanjakan mata dengan menebar pandangan ke arah kanal. Tak hanya cukup dipandang, di kanal tersebut pengunjung dapat bermain-main dengan naik sepeda air, perahu maupun kano untuk menjelajahi perairan. Sesuai namanya, konon Provinsi Utrecht berasal dari dua kata yaitu Uut yang berarti hilir dan Trecht yang berarti mengarungi.
Utrecht juga merupakan sebuah kota yang bersahabat dengan jantung perbelanjaan, kafe jalanan yang ramah, serta kehidupan malam yang semarak. Di sini ramai dengan pub dan kafe, rumah makan sederhana maupun restoran, pusat-pusat pertemuan dan kongres kontemporer diselenggarkan.
Masih banyak bagian lain dari kota itu yang tak kalah mempesona. Namun rasanya tidak akan pernah cukup kata untuk melukiskan kecantikan Utrecht. Ditambah lagi predikat yang disandang Utrecht sebagai pusat kebudayaan Belanda. Berbagai pertunjukan bertaraf internasional digelar sepanjang waktu, mulai dari event mingguan hingga event tahunan. Misalnya Holland Festival of Old Music, The Wharf Area Theatre Festival, The Festival of Modern Dance, The Springdance Movementand Dutch Film Days dan Cultural Sundays.

Tempat Kuliah Bergengsi
Siapa yang tidak tertarik mengunjungi Utrecht ? Pertanyaan ini mengingatkan kita pada motto pariwisata Tanah Toraja di Sulawesi Tengah “Jangan Mati Sebelum ke Tanah Toraja”. Tak berlebihan pula jika slogan ini dijiplak menjadi “Jangan Mati Sebelum ke Utrecht”. Bukan hanya untuk tujuan wisata, melainkan juga untuk keperluan pendidikan. Karena di kota ini pula terdapat Utrecht University, salah satu perguruan tinggi terbaik di Belanda.
Universitas yang berdiri sejak tahun 1636 di jantung negara Belanda ini menempati rangking 9 terbaik di Eropa dan berada di peringkat ke-47 terbaik di dunia berdasarkan Shanghai Academic Rankings of World Universities 2008. Setiap tahun tak kurang dari 2.000 mahasiswa dari seluruh dunia masuk di universitas tersebut untuk ambil bagian dalam kelas internasional. Sehingga akan mengantarkan para mahasiswa bergabung dalam pergaulan global yang sangat luas. Eksistensi Utrecht University juga terlihat dari jumlah mahasiswanya yang mencapai lebih dari 29.000 orang (terhitung pada tahun 2008).
Belanda memang menjadi incaran bagi peminat pendidikan dari seluruh penjuru dunia. Selain pertimbangan kualitas, faktor lainnya adalah banyaknya program internasional yang dibuka. Tak kurang dari 14.000 program studi di Belanda merupakan kelas internasional dengan pengantar Bahasa Inggris. Ditambah lagi banyaknya tawaran dan peluang beasiswa, menjadikan Belanda sebagai magnet pendidikan global.

Ladang Ilmu Pengetahuan
Secara umum negeri Belanda juga merupakan ladang ilmu pengetahuan yang menarik untuk dipelajari dan digali bukan hanya dari dalam kampus. Seorang teman yang pernah berkesempatan mengunjungi Amsterdam menceritakan bahwa kota ini mampu bertahan pada reputasi sebagai ‘Kota Hijau’ (tidak polusif akibat kimiawi) sekaligus kota wisata yang benar-benar surga bagi pejalan kaki dan memberi akses luar biasa pada pengguna sepeda onthel.
Fasilitas bagi pengendara sepeda, sangat dimanjakan. Ada jalur sendiri, berdampingan dengan trem. Di kawasan Dam Square yang dipenuhi resto dan kafe ‘mahal’ memberi akses parkir sepeda. Lazim saja orang berjas-dasi ala manajer bank (kalau di Indonesia) atau perempuan-perempuan modis secantik peragawati, datang ke kafe mengendarai sepeda untuk makan dan minum menghabiskan puluhan Euro.
Agaknya kebiasaan itu makin mustahil terjadi di Indonesia, apalagi Jakarta yang telanjur memposisikan motor dan mobil sebagai lambang kesuksesan status sosial-ekonomi seseorang. Transportasi kota dan antarkota di Amsterdam, memang sudah demikian maju dengan validitas infrastruktur mampu bertahan minimal 100 tahun. Pemerintah bekerjasama dengan para ilmuwan, terus menjaga dan meng-up date secara terintegrasi. Sehingga pembangunan untuk perkembangan terus berjalan seiring dengan zaman. Akan tetapi bukan pembongkaran apalagi asal penggusuran yang jauh dari konsep sustaintable.Buktinya, Amsterdam terus berkembang. Namun lalu lintas tidak crowded. Tetap saja surga bagi pejalan kaki, surga bagi pengendara sepeda. Pepohonan tetap tinggi dan rindang.
Taman-taman kota yang luas, leluasa bagi habitat burung merpati. Di sungai, selain berseliweran kapal boat, juga berenangan keluarga angsa putih. Ini menandakan, air sungai sehat, kapal sangat terjaga sehingga tidak mencemari lingkungan hidup sungai.
Seorang sahabat lain yang menikah dengan pria Belanda dan telah mukim 17 tahun di kota Alkmaar – 30 menit dari Amsterdam – mengaku sangat nyaman bersepeda. Meski memiliki mobil sedan Peugeot, hanya dikendarai kalau ke luar kota untuk rekreasi. Ke kantor dan belanja, dia bersepeda.
Untuk itu, dia memiliki 5 sepeda. “ Untuk cadangan kalau ada yang rusak, karena suami dan anakku juga bersepeda,” katanya. “Di sini tidak perlu takut dibilang miskin lantaran naik sepeda,” tambahnya bercanda. Semua warga negara, apalagi penduduk Alkmaar, tambahnya, sangat paham bahwa orang yang bersepeda adalah orang memiliki budaya tinggi. Bijak pada alam raya, salah satu cara untuk menghangatkan tubuh secara alamiah dan sehat. Cara melawan dingin hidup di negeri empat musim dengan merokok, sudah lama ditinggalkan karena kontraproduktif. Tidak ekonomis, menghadirkan penyakit dan merusak lingkungan. Akan tetapi untuk wine dan sedikit alkohol, memang telah menjadi bagian dari kuliner mereka.
Itulah ladang pengetahuan yang bisa dipelajari di negeri yang sebagian wilayahnya berada di bawah permukaan laut itu. Sangat kontekstual juga dengan kondisi Indonesia. Jadi, jangan-jangan banyak orang mengincar Belanda sebagai negara tujuan studi karena memang ingin memuaskan keinginannya menikmati obyek wisatanya. Kesimpulan yang paling moderat mungkin sesuai dengan peribahasa ”sambil menyelam minum air”, kuliah sambil berekreasi di dunia yang tiada tandingannya.
Saya juga masih penasaran dengan alam kebebasan berpendapat di Belanda, termasuk munculnya film ’fitna’ yang ’direstui’ masyarakat dan Pemerintah Belanda. Sehingga siapa yang tidak ngiler bisa mengikuti program summer school di Utrecht ? (Aksan Susanto)