25 Agustus 2009

Mogol Sekolah, Bento Punya Dua 'Showroom' Motor

SALAH besar kalau ada orang bilang bahwa kesuksesan adalah bakat dan hanya bisa digenggam oleh mereka yang berasal dari trah atau keturunan keluarga sukses pula. Siapapun bisa meraih sukses, asalkan punya semangat pantang menyerah dan tekun. Muhammad Khoiron (39) memegang prinsip tersebut. Hingga akhirnya dia dapat membuktikan itu semua.
Pria yang akrab dipanggil Bento ini bisa dibilang hidupnya sekarang sudah mapan. Punya usaha cover jok sepeda motor, dua showroom motor bekas, mobil untuk menunjang pekerjaan, kendaraan keluarga, rumah milik pribadi dan tabungan sebidang tanah. Padahal pria asli Mojokerto Jatim ini tak pernah sekolah tinggi-tinggi, bahkan mogol di tengah jalan.
"Pernah SMA tapi tidak sampai lulus. Lalu saya merantau ke Yogya tahun 1988," ujarnya ketika ditemui KR di salah satu showroom sepeda motor bekas miliknya, Bento Mulya Motor di Jalan Monjali Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta suatu siang.
Masuk Yogya tahun 1988, Bento yang saat itu baru berusia 18 tahun mengaku galau. Karena selain tak punya cukup uang dan hanya berpendidikan rendah, ia juga tidak memiliki modal ketrampilan. Tapi niatnya merantau untuk mencari kehidupan yang lebih baik tak boleh surut. Untuk bisa sekadar makan, ia bekerja di sebuah pemasangan cover jok di Jalan Godean Km.5 dengan upah Rp 5.000 per minggu.
Setelah dua tahun bekerja ikut orang, terpikir dalam benaknya untuk mandiri. Tahun 1990 Bento mendirikan usaha pemasangan cover jok sepeda motor di Jalan Kolombo Samirono. Karena belum mampu membayar tenaga kerja, semua pekerjaan dilakukannya sendirian. Inilah saat-saat terberat yang harus dilalui Bento. Sebab hasil usahanya hanya cukup untuk makan sehari-hari.
Selama tujuh tahun dirinya menjalani masa prihatin tersebut. Namun bukan Bento namanya jika gampang patah asa. Tahun 1997 ia nyambi makelaran sepeda motor bekas. "Saya melihat peluang itu, ketika beberapa sepeda motor yang dibawa ke tempat saya untuk diperbaiki joknya ternyata akan dijual," terang pria kelahiran Mojokerto 21 Januari 1970 ini.
Di sela-sela pekerjaannya memperbaiki jok, ia keluar masuk showroom menawarkan sepeda motor bekas. Namun lagi-lagi jalan terjal yang harus dilalui Bento. Motor yang ditawarkannya lebih sering ditolak ketimbang diterima oleh showroom. Ia menyadari, sebagai orang baru dalam bisnis tersebut masih butuh waktu untuk menanamkan kepercayaan.
"Sering, dari lima motor yang saya tawarkan, tak ada satupun yang diterima. Kalau nggak laku hari ini ya saya tawarkan lagi besok. Besok juga nggak laku, ya ditawarkan besoknya lagi," ujarnya.
Pantang menyerah. Itu yang dilakukan Bento sehingga kesulitan demi kesulitan berhasil dilaluinya dengan mulus. Setelah pekerjaan sales freelance sepeda motor bekas hasilnya dirasa memadai, tahun 2002 ia melepas pekerjaannya memperbaiki jok dan sepenuhnya berkonsentrasi untuk distribusi motor-motor bekas ke showroom. Sedangkan usaha jok sepeda motor diserahkan kepada para pekerja.
Bento yang awalnya hanya menjadi perantara, lambat laun mampu membeli sepeda motor bekas dengan uangnya sendiri untuk dijual kembali ke showroom. Dari satu buah sepeda motor yang mampu ia beli, berkembang menjadi dua, tiga, empat dan seterusnya. Dengan modal relasi yang makin luas pula, akhirnya terkumpul keberanian Bento untuk mendirikan sendiri showroom tahun 2006 di Jalan Monjali.
"Selama bergaul dengan sesama makelar dan keluar masuk showroom, saya jadikan sarana untuk belajar. Bagaimana sistem administrasinya, marketing dan sebagainya. Karena sudah main dengan uang besar maka harus dengan konsep atau sistem yang tertata," jelas Bento.
Usahanya berkembang pesat. Pria yang menikahi perempuan asli Yogya, Reni Wulandari dan telah dikaruniai dua orang anak masing-masing berumur dua tahun dan dua bulan ini membuka lagi satu showroom motor bekas di Jalan Kolombo Samirono pada awal tahun 2009.
Kini saatnya Bento menikmati buah perjuangan panjang. Masing-masing showroom miliknya memajang sekitar 25 sepeda motor setiap hari. Hasil penjualannya pun lumayan, rata-rata 120 unit per bulan untuk kedua showroom-nya. "Jujur, selalu berinovasi dan jangan pernah menyerah," tandas Bento membagi resep kesuksesannya. (Aksan Susanto)

Nanang Syaifurozi Ditentang Orang Tua, Nekat Tapi Sukses

MODAL dan pengalaman, bagaikan hantu dalam dunia bisnis bagi pemula. Tanpa modal besar dan pengalaman yang memadai, seakan-akan tak bisa memulai langkah. Benarkah demikian ? Bagi Nanang Syaifurozi (30) dan Ane Yarina Christi (28), alasan tersebut pasti akan ditolak mentah-mentah. Sebab pasangan muda suami isteri tersebut mengawali usahanya hanya dari hobi dan modal Rp 20 ribu. Tapi kini omzetnya mencapai miliaran rupiah per bulan.
Nanang dan Ane tak pernah menyangka hobi mereka berdua semasa masih pacaran di bangku kuliah pada tahun 2000 menuntun jalan rezekinya. Awalnya mereka hanya menuruti kesukaan membuat pernak-pernik dari kertas, seperti bingkai (frame) foto. Hasilnya pun hanya untuk hiasan dinding kamar kos. Setelah itu iseng-iseng dijual ke temannya.
Karena laku, Nanang dan Ane pun tuman. Dengan modal Rp 20 ribu mereka membeli kertas, gunting, cutter dan lem untuk membuat frame foto lebih banyak lagi. Hasilnya dijajakan di bazar Minggu pagi di kawasan kampus UGM. "Saya jual Rp 7.000 perbuah. Laku satu saja rasanya senang banget," ujar Nanang ketika dijumpai KR di tempat usahanya 'Rumah Warna' di Jalan Pandega Asih Ringroad Utara Caturtunggal Depok Sleman suatu siang.
Dengan telaten, jualan di pinggir jalan tersebut mereka lakoni hingga lebih dari satu tahun. Sejalan dengan itu mereka terus berkreasi dengan membuat aneka produk kreatif. Tak hanya sebatas bingkai foto, mereka merambah pula berbagai pernak-pernik kebutuhan remaja putri. Di tengah jalan, rintangan kecil mulai muncul. Orang tua Nanang yang mengetahui sepak terjang anaknya tersebut rupanya tak bisa menerima.
"Orang tua menentang karena ingin saya berkonsentrasi kuliah. Beliau berharap saya bisa kerja kantoran setelah lulus. Dan tidak ingin nasib saya sama seperti orang tua saya yang kesehariannya hanya jualan warung kelontong. Tapi saya tetap jalan terus pada pilihan saya. Karena saya yakin bisnis ini berprospek bagus," kisah alumni D-3 Broadcasting UGM ini.
Kendati demikian Nanang bisa membuktikan keyakinannya dengan berhasil lulus pada tahun 2002. Setelah lulus, lagi-lagi Nanang melakukan sesuatu yang membuat orang tuanya kurang berkenan. Karena pada tahun 2002 itu juga Nanang nekat ingin menikahi Ane, adik kelasnya di kampus. Padahal mereka berdua belum memiliki pekerjaan mapan, bahkan masih dalam usia cukup muda 23 tahun.
"Prinsip saya, penghasilan kami berjualan pernak-pernik kreatif saat itu sudah cukup untuk makan sehari-hari. Karena tekad kami ingin menikah begitu kuat, akhirnya orang tua saya mengizinkan. Itupun nggak pakai ramai-ramai, asal sah di KUA. Bahkan teman-teman kos pun tidak ada yang tahu. Karena setelah menikah kami masih tetap kos sendiri-sendiri," ujar pria muda kelahiran Banjarnegara Jateng 18 September 1979 ini.
Setelah menikah Nanang merasakan pintu rezekinya kian terbuka. Perubahan besar terjadi ketika dia menggelar karyanya pada salah satu stand di Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) tahun 2002. Usai FKY pesanan dari luar negeri membanjir. Awalnya dari Yunani yang memesan 10.000 pigura senilai Rp 43 juta. Lalu disusul dari Jepang, Spanyol, Perancis, Amerika Serikat dan Jerman.
Mulai saat itu ia merekrut karyawan meskipun hanya sebatas teman-temannya sendiri. Dalam mengembangkan produk, Nanang membidik pasar remaja putri. Saat itu produk yang sedang booming adalah frame dari kertas daur ulang. Namun ia tak mau latah. Justeru ia melihat belum banyaknya produk kreatif yang colourfull sesuai kesukaan cewek ABG.
Beranjak dari situ, tahun 2004 Nanang dan Ane mulai membuat produk yang dibuat dengan jahit-menjahit. Seperti dompet, tas, kantong handphone, bed cover dan sprei, namun tetap dengan konsep colourfull atau warna-warni. Kreativitas Nanang dan Ane pun diterima dengan baik oleh masyarakat. Karya demi karyanya terus mengalirkan rupiah.
"Awalnya memang tak mudah. Ketika saya butuh modal untuk mengembangkan usaha, masih dipandang sebelah mata oleh bank. Memang sulit mencari pinjaman ke bank bagi pebisnis pemula. Tapi sekarang setelah sukses, bank-bank berdatangan menawarkan pinjaman," tutur Nanang.
Kerja keras hampir tujuh tahun telah bisa dinikmati hasilnya saat ini. Untuk terus mengembangkan usahanya, Nanang dan Ane membuka sistem franchise. Kini setidaknya telah ada 10 cabang franchise 'Rumah Warna' yang tersebar di wilayah Jawa, Kalimantan dan Kalimantan. Dari kesepuluh franchise ditambah dengan dua cabang miliknya sendiri, 'Rumah Warna' mampu membukukan omzet tak kurang dari Rp 1 miliar per bulan.
Kesuksesan tersebut tak lantas membuat pasangan pengusaha muda ini lupa diri. Bagi Nanang dan Ane, prinsip give and take selalu menjadi pegangan hidup. Keuntungan hasil usaha selalu disisihkan untuk diberikan kepada mereka yang nasibnya kurang beruntung. "Selalu memberi dulu, baru menerima dalam hal apapun," tandas Nanang. (Aksan Susanto)

04 Agustus 2009

Bekatul pun Bisa Jadi Makanan Bergengsi

BEKATUL selama ini lebih banyak dimanfaatkan untuk makanan ayam atau unggas dan hewan ternak lainnya. Sehingga limbah dari penggilingan padi menjadi beras tersebut lebih dikenal sebagai makanan binatang. Tapi jangan menyepelekan bekatul. Karena kandungan gizi bekatul sebenarnya jauh melebihi beras. Dan ternyata juga bisa diolah menjadi makanan bergengsi sehingga baik pula untuk dikonsumsi manusia.
Seperti yang dilakukan sejumlah mahasiswa Fakultas Pertanian UGM. Mereka membuat aneka kue berbahan dasar bekatul, seperti brownies, tart, cookies dan muffin. Rasanya tetap lezat, tidak apek dan nyaris tak berasa bekatulnya. Dan yang pasti menjadi menu bergizi tinggi.
"Dengan memanfaatkan bekatul berarti pula mengurangi ketergantungan kita terhadap impor gandum. Karena sebagian kue, bahan pembuatannya sudah seratus persen dari bekatul. Sebagian lainnya masih menggunakan gandum dengan proporsi kurang dari 50 persen," kata Maula Paramita didampingi Uun Agung Prasetya, keduanya mahasiswa Fakultas Pertanian UGM.
Komposisi seratus persen bekatul, jelas Maula, digunakan untuk jenis kue-kue basah seperti brownies. Sedangkan untuk kue kering, misalnya cookies, masih menggunakan gandum sekitar 30 persen. Sebab pada kue kering, aroma bekatul lebih terasa sensitif dibanding pada kue basah.
Tak puas hanya sekadar bisa membuat kue unik dan bergizi dari bekatul, Maula dan Uun bertekad untuk memasyarakatkannya. Lebih dari itu, mereka ingin menggarapnya serius sebagai ladang wirausaha. Untuk mendongkrak pemasaran, mereka menggandeng bapak angkat yang telah terlebih dahulu mapan dalam bisnis roti.
Melalui seorang teman, akhirnya mereka bertemu dengan H Buchori AZ (40), pemilik usaha roti Aflah di Jalan Nyai Ahmad Dahlan Yogyakarta. Kue buatan para mahasiswa tersebut dipasarkan melalui outlet Aflah. Tak hanya urusan pemasaran, Buchori juga memfasilitasi tempat dan alat untuk memroduksi kue-kue tersebut.
"Saya juga bertekad, para mahasiswa ini sudah harus punya usaha sendiri sebelum mereka lulus. Saya sudah cukup senang melihat mereka kreatif. Oleh sebab itu saya juga terus memotivasi para mahasiswa ini untuk menjadi wirausahawan mandiri," papar Buchori.
Lantaran bekatul pula, Maula dan Uun serta dua teman lainnya dalam satu tim lolos seleksi Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (Pimnas) yang digelar di Unibraw Malang 21-25 Juli 2009. Mereka menjadi bagian dari 270 tim yang diberi kesempatan untuk mempresentasikan karyanya setelah bmenyisihkan 12.600 proposal lain.
Sejumlah sumber menyebutkan, bekatul mengandung banyak zat gizi. Antara lain
protein, mineral, lemak (Asam lemak esensial), Phytosterois, Polyphenols, Phospholipids, Beta-Sitosterol, Co-Enzyme Q10, Omega 3 Fatty Acids, Omega 6 Fatty Acids dan Oleic Acid. Selain itu juga mengandung Dietary Fibers (Serat pencernaan dengan kandungan hemiselulosa yang tinggi, Vitamin E kompleks/Antioksidan (Tocopherols, Tocotrienols dan Gamma-Oryzanol), Vitamin B kompleks (B1, B2, B3, B5, B6 dan Vitamin B15/Vital Antioksidan)
Dengan kandungan vitamin dan zat gizi itu bekatul bisa membantu menyembuhkan berbagai macam penyakit. Seperti diabetes melitus, hipertensi, kolesterol, pengapuran darah, jantung, asma, encok, gairah sex menurun, pusing karena tekanan darah rendah, gangguan perncernaan, penuaan dini, kegemukan, haid tak teratur, kista. Serta bisa meningkatkan kesuburan pada pria dan wanita. (Aks)

Bermodal Silaturahmi, Omzet Buchori Capai Ratusan Juta

PETUAH bijak yang mengatakan pentingnya memelihara silaturahmi ternyata memang bukan sekadar untaian kata. Bahkan pertemanan dan silaturahmi sebenarnya adalah aset. Suatu ketika aset tersebut bisa menghasilkan uang besar. Itu yang telah dibuktikan H Buchori AZ (40). Keberhasilan usaha beromzet ratusan juta rupiah perbulan yang dinikmatinya sekarang, awalnya hanya bermodal jaringan pertemanan.
Uang Rp 3 juta bisa dibilang terlalu kecil untuk membangun sebuah usaha. Apalagi ia tinggal di daerah pinggiran yakni di Sorobayan Sanden Bantul. Namun karena sudah kepepet dapur harus ngebul, wong ndeso ini memanfaatkan uang Rp 3 juta tersebut untuk membuka usaha roti. Ketika itu tahun 2003.
Ia memulai dengan produksi 10 kotak roti perhari dan dijajakan di warung reyot yang ia sewa di dekat rumahnya di Sorobayan. Sejalan waktu, roti buatannya dikenal masyarakat hingga kemudian pesanan berdatangan. Naluri bisnisnya pun berkembang dan terpikir untuk memperluas pemasaran. Di sinilah kekuatan silaturahmi dan pertemanan itu dimanfaatkan oleh Buchori.
"Roti saya pasarkan ke teman-teman yang beberapa tahun sebelumnya pernah saya kenal. Ada yang di Purworejo, Muntilan, Klaten, Sleman dan Bantul kota. Sebagian di antara mereka adalah teman-teman yang saya kenal waktu masih aktif di LSM," ujar suami dari Hj Tin Khotimah yang dikaruniai dua orang anak ini.
Kerja keras Buchori mulai terasa hasilnya tahun 2006. Pesanan tiap hari mencapai 200 doz perhari. Selanjutnya terus berkembang hingga saat ini menjadi 500-600 doz perhari. Bahkan saat musim hajatan dan pesanan ramai mencapai 2.000 doz perhari. Dari modal Rp 3 juta itu kini ia bisa memiliki empat buah mobil, rumah bagus dan membiayai umroh untuk kedua orang tua dan dua anaknya, serta menghajikan isterinya.
Kesuksesan Buchori barangkali setimpal dengan perjuangan hidupnya yang gigih. Belajar mencari uang sudah dilakoninya sejak kelas 2 SMA dengan usaha sablon. Demikian pula ketika masih kuliah di IAIN (sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, ia nyopir taksi tahun 1990-1993. Pernah pula jualan koran. Maklum, dirinya berasal dari keluarga besar dengan kemampuan orang tua yang pas-pasan.
Satu hal yang patut diacungi jempol, kendati sibuk cari uang dan kuliah tapi Buchori selalu ada waktu untuk berorganisasi baik intra maupun ekstra kampus. Dari situlah jaringan pertemanannya bertambah luas. Namun entah apa sebabnya, mahasiswa angkatan 1988 ini meninggalkan kampus tahun 1995 sebelum skripsinya kelar dan tak pernah diselesaikannya sampai sekarang.
Setelah meninggalkan kampus, dia merantau ke Pemalang. Di kota tersebut ia mencoba peruntungan dengan membuka berbagai usaha makanan kecil, bahkan jualan ayam. Namun tampaknya nasib baik belum berpihak. Tak ada satupun usahanya yang berhasil. Meski demikian dia berhasil menyisihkan uang untuk ditabung. Merasa tidak nyaman lagi di Pemalang, mantan aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) ini memutuskan bali ndeso ke Sanden Bantul tahun 2003.
Sesampainya di Bantul, Buchori melakukan sesuatu yang dianggap banyak orang barangkali konyol. Uang tabungan yang dimiliki, dipakainya untuk berangkat ibadah haji sendirian. Padahal saat itu ia masih pengangguran dan hanya uang itu kekayaan yang dipunyainya.
"Banyak yang bilang saya ini edan. Punya tabungan bukannya untuk buka usaha, tapi malah naik haji. Waktu saya punya keyakinan, kalau kita minta kepada Allah pasti dikasih. Apalagi mintanya dekat, di Baitullah," ujar pemilik usaha roti 'Aflah' ini.
Sepulang haji pada tahun 2003 itu pula, tabungannya masih tersisa Rp 3 juta yang kemudian dipakainya untuk modal usaha. Tak pernah sepeserpun ia meminjam uang di bank untuk modal usaha. Kini Buchori bahkan telah mampu membeli sebuah rumah di Jalan Nyai Ahmad Dahlan Kauman Yogyakarta.
Rumah tersebut dimanfaatkan untuk outlet Aflah dan memfasilitasi mahasiswa kreatif yang tertarik untuk berwirausaha. "Saya punya obsesi para mahasiswa ini mampu punya usaha sendiri sebelum mereka lulus," tandasnya. (Aksan Susanto)

06 Juli 2009

INDONESIA MENDAPAT BONUS DEMOGRAFI PADA 2020

Indonesia akan mendapatkan bonus demografi, yaitu jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 persen, sedang 30 persen penduduk yang tidak produktif (usia 14 tahun ke bawah dan usia di atas 65 tahun) yang akan terjadi pada tahun 2020-2030. Demikian dikatakan Plh Deputi Bidang Pelatihan dan Pengembangan BKKBN, Ida Bagus Permana.
Permana mengemukakan hal itu dalam Lokakarya Wartawan dengan Jajaran Pejabat Badan Keluarga Berencanan Nasional (BKKBN) Pusat di Cimacan, Cianjur, Jabar, akhir pekan lalu, dengan menghadirkan nara sumber Plh Sestama BKKBN Alimah Susilo, Plh Deputi Bidang KS dan PK BKKBN Hardiyanto, Guru Besar FKM-UI Prof Dr Ascobat Gani dan Pakar Komunikasi Eduard Depari.
Bonus demografi adalah suatu fenomena dimana struktur penduduk sangat menguntungkan dari sisi pembangunan karena jumlah penduduk usia produktif sangat besar, sedang proporsi usia muda sudah semakin kecil dan proporsi usia lanjut belum banyak.
Menurut Permana yang Kapuslitbang KB dan KR BBKN itu, bonus demografi dapat menjadi anugerah bagi bangsa Indonesia, dengan syarat pemerintah harus menyiapkan generasi muda yang berkualitas tinggi SDM-nya melalui pendidikan, kesehatan, penyediaan lapangan kerja dan investasi.
Dengan demikian, pada tahun 2020-2030, Indonesia akan memiliki sekitar 180 juta orang berusia produktif, sedang usia tidak produktif sekitara 60 juta jiwa, atau 10 orang usia produktif hanya menanggung 3-4 orang usia tidak produktif, sehingga akan terjadi peningkatan tabungan masyarakat dan tabungan nasional.
Namun, jika bangsa Indonesia tidak mampu menyiapkan akan terjadinya bonus demografi, seperti penyediaan lapangan kerja dan peningkatan kualitas SDM seperti pendidikan yang tinggi dan pelayanan kesehatan dan gizi yang memadai, maka akanb terjadi permasalahan, yaitu teradinya pengangguran yang besar dan akan menjadi beban negara.
Sementara itu, Prof Ascobat Gani mengharapkan, Presiden Indonesia terpilih 2009 menghidupkan kembali Kementrian Kependudukan sebagaimana diatur dalam UU No 39/2008 tentang Kementrian Negara bahwa masalah kependudukan diatur dalam kementrian.
"Adanya Kementerian Kependudukan, maka masalah kependudukan termasuk program KB mendapat prioritas dalam sidang kabinet dan dapat dikoordinasikan dalam pelaksanaan program kependudukan an peningkatkan kualitas penduduk seperti menyambut adanya bonus demografi," katanya.
Ascobat menyatakan optimis, adanya kementerain kependudukan, maka upaya revitalisasi program KB, pencapaian sasaran tujuan pembangunan milenium (MDGs) 2015 serta bonus demografi 2020 akan terwujud, antara lain tercapai program penurunan pertumbuhan penduduk dari 1,3 persen per tahun saat ini menjadi 1,0 persen serta angka pertumbuhan wanita (TFR - Total Fertility Rate) dari 2,6 anak (sejak 2002-2007) menjadi 1,5 anak.
Sedangkan, Eduard Depari mengharapkan, media yang meliput kegiatan KB dengan sikap dan tulisan yang kritis konstruktif, media yang mampu menggugah pemerintah untuk melihat masalah kependudukan sebagai masalah serius dan potensial yang dapat menghambat pembangunan bisa diabaikan. (www.bkkbn.go.id)

22 Juni 2009

Kimpul Cocok Untuk Penderita Diabetes

Alam kita menyediakan begitu banyak bahan makanan, terutama sumber karbohidrat selain beras. Sebut saja ganyong, garut, gembili, suweg, uwi, kimpul dan lainnya. Namun makanan tradisional tersebut masih sulit menggantikan beras, meskipun nilai gizinya tidak kalah dari beras.
Contohnya kimpul (Xanthosoma Sp) atau dalam istilah Inggris disebut blue taro. Sebagian masyarakat menyebutnya talas kimpul. Dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Ibnu Wahid menjelaskan, kimpul cocok hidup di tanah yang tidak tergenang air.
Selain rasanya gurih dan lezat, tanaman berdaun lebar serupa dengan talas ini rendah karbohidrat dan rendah lemak. Dengan demikian rendah pula kandungan glukosanya sehingga cocok bagi penderita diabetes melitus. Berdasarkan penelitian, dengan kandungan gizi yang ada dalam kimpul cocok pula untuk penderita penyakit degeneratif lainnya seperti jantung, osteoporosis dan hipertensi.
Dalam setiap 100 gram kimpul mengandung karbohidrat sebesar 23,7 gr, lebih rendah dibanding beras (78,9 gr), terigu (77,3 gr) dan jagung kuning (63,6 gr). Keunggulan yang lain dari kimpul, mengandung kalsium lebih tinggi (47 mg) dibanding beras (10 mg), terigu (16 mg) dan jagung kuning (9 mg).
Dibanding beras, terigu dan jagung kuning, hanya kimpul yang mengandung vitamin C yaitu 4 mg dalam setiap 100 gramnya (sumber pustaka Widowati dan Suyanti, 2002). Harga kimpul lebih murah dibanding beras, singkong ataupun ubi jalar. Sehingga cocok pula untuk makanan pokok alternatif terutama bagi keluarga miskin.
Arini Kusumaningtyas (mahasiswi Fakultas Teknologi Pertanian UGM) menjelaskan, kimpul masih memiliki keunggulan dibanding talas. Menurutnya, jika dibuat menjadi keripik (ceriping), talas tidak bisa renyah seperti halnya kimpul. Talas juga menyerap minyak lebih banyak sehingga kurang ekonomis.
"Kimpul juga termasuk zero waste. Kulitnya bisa kami olah untuk dijadikan pupuk organik. Air cuciannya setelah diendapkan ternyata menghasilkan pati. Pati ini sedang kami uji untuk dibuat produk turunan yang baru seperti mie atau yang lainnya," ujar Arini.(Aks)

Kimpul Antarkan Mahasiswa Jadi Wirausahawan

Kimpul adalah bahan makanan tradisional dari jenis ubi-ubian. Ada juga yang menyebutnya talas kimpul. Pamornya masih kalah dibanding singkong, ubi jalar, apalagi kentang. Nilai ekonomisnya pun nyaris tak diperhitungkan. Tapi di tangan dua orang mahasiswa UGM, kimpul dapat diubah menjadi komoditas bisnis berskala besar dan mengantarkan mereka menjadi wirausahawan muda.
Harus ada take action. Demikian prinsip Arini Kusumaningtyas (mahasiswi Fakultas Teknologi Pertanian UGM angkatan 2005) dan Muhammad Tholabuddin (mahasiswa Jurusan Administrasi Negara Fisipol UGM) ketika memulai usahanya pada Januari 2009 silam. Sebab perhitungan di atas kertas sematang apapun tak akan berarti apa-apa tanpa tindakan.
Dengan modal patungan berdua, ditambah dengan dana pribadi dosen Fakultas Teknologi Pertanian UGM Ibnu Wahid FA, mereka kulakan kimpul dan belanja alat penggorengan. Sejumlah ibu rumah tangga dan pemuda-pemudi pengangguran di sekitar tempat produksi pun dikerahkan untuk berproduksi.
Hasilnya berupa keripik (ceriping) kimpul lalu dipasarkan secara sederhana, tidak langsung masuk super market. Dibantu beberapa teman dengan telaten mereka menjualnya setiap minggu pagi di kawasan Kampus UGM dan dijajakan ke sejumlah warung. Pameran di kampus pun dimanfaatkan untuk mengenalkan produk tersebut.
Pelan tapi pasti, omzet mereka berkembang. Dua bulan terakhir ini telah mencapai Rp 50 juta perbulan atau satu ton keripik kimpul matang. "Mulai bulan Juli produksinya akan kami tingkatkan menjadi tiga ton perbulan. Karena permintaan pasar terus naik," ujar Arini didampingi M Tholabuddin dan dosen pembimbing mereka, Ibnu Wahid di laboratorium manajemen sistem industri pertanian FTP UGM Kamis (11/6).
Bisa dibayangkan keuntungan yang mereka raih, dengan harga jual Rp 5.000 untuk tiap kemasan 100 gram. Sementara harga beli kimpul dari petani maupun pengepul sekitar Rp 1.000 perkilogram. Pembuatan keripik kimpul juga tidak terlalu sulit. "Dikupas lalu dicuci, dirajang tipis, dicuci lagi, digoreng, ditaburi bumbu dan dikemas," tandas Arini.
Untuk membangun image dan mendongkrak nilai ekonomisnya, mereka memberikan merk Blue Taro Chips dan nama produsen Karisma Food dalam kemasannya. Blue Taro dikategorikan sebagai makanan ringan organik sehingga konsumen tak perlu khawatir adanya kandungan pestisida kimia dalam makanan tersebut.
Tak kalah penting, mereka juga mengepakkan sayap pemasaran. Kini mereka telah mempunyai kantor cabang di Jakarta, Bandung, Medan, Solo dan Semarang dengan kantor pusat di Magelang. "Kebetulan rumah saya Magelang, jadi biar gampang mengurusnya. Lagi pula bahan bakunya banyak didapat dari sekitar Magelang, Wonosobo, Temanggung dan Semarang," jelas Tholabuddin.
Omzet Blue Taro diyakini bakal terus menanjak, Sebab kata Tholabuddin, Jakarta, Bandung dan Medan sudah memesan pengiriman masing-masing dua ton perbulan. Namun karena keterbatasan modal, permintaan tersebut belum bisa dipenuhi.
Jalan lempang menjadi wirausahawan muda terbuka di depan mata Tholabuddin dan Arini. Apalagi setelah bisnis kimpul mereka memenangi juara I Shell Livewire Business Start Up Award 2009 pada 4 Juni 2009 lalu di Jakarta yang diselenggarakan perusahaan oli terbesar dunia Shell. Hadiah berupa uang tunai Rp 20 juta dari Shell menjadi 'darah segar' untuk menggenjot usaha mereka.
Shell juga akan mendukung pemasaran dengan membiayai pembuatan iklan di berbagai media yang akan dibintangi aktris Oky Asokawati dan mantan Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sandiaga S Uno. Kebetulan mereka berdua adalah juri pada saat lomba Shell Livewire Business Start Up Award 2009.
Bagi Tholabuddin, keberhasilan tersebut bukan tanpa pengorbanan. Ia harus meninggalkan pekerjaannya dari sebuah perusahaan asing terkemuka di Jakarta. "Saya harus memilih. Kalau usaha ini tidak saya garap serius bisa bubar. Yang paling berkesan bagi saya, kami bisa memperkerjakan pengangguran dan memuliakan produk pertanian yang selama ini tak bernilai. Kami juga berhasil membentuk Karisma English Course untuk mencerdaskan masyarakat di sekitar rumah produksi," kata Tholabuddin.
Dosen pembimbing sekaligus investor Taro Blue Chips, Ibnu Wahid mengungkapkan, pihaknya akan terus memacu mahasiswanya untuk tidak berhenti pada kajian keilmuan. Namun juga mengembangkannya menjadi tindakan yang bermanfaat bagi masyarakat. "Keripik kimpul ini adalah salah satu usaha yang berbasis akademik," tandas Ibnu.(Aksan Susanto)